Pemerintah Disarankan Perkuat Instrumen Hukum Ketimbang ‘Bangkitkan’ TPK
Utama

Pemerintah Disarankan Perkuat Instrumen Hukum Ketimbang ‘Bangkitkan’ TPK

Seperti memperbaiki hukum acara pidana, MLA, perjanjian ekstradisi dengan negara lain.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Menkopolhukam M. Mahfud MD saat memberi keterangan pada awak media. Foto: RES
Menkopolhukam M. Mahfud MD saat memberi keterangan pada awak media. Foto: RES

Buron terpidana kasus cessie Bank Bali sebesar Rp940 miliar Djoko Tjandra dan tertangkapnya pembobol BNI, Maria Pauline Lumowa menjadi pemantik bagi pemerintah menghidupkan kembali Tim Pemburu Koruptor (TPK). Namun, langkah menghidupkan TPK terus menuai kritik dari elemen masyarakat. Ketimbang membentuk TPK, pemerintah disarankan memperbaiki dan memperkuat instrumen perangkat hukum yang ada. Seperti hukum acara pidana, mutual legal asistance (MLA), hingga perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara lain.

“Jadi wacana hasrat pembentukan TPK alangkah baiknya ditahan dulu. Yuk, pemerintah kaji dulu sistem hukum kita yang materil saja, baru kemudian bicarakan instrumen-instrumen penegakan hukum Tipikor, salah satunya dengan TPK,” ujar Direktur Akses Keadilan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Siska Trisia dalam diskusi daring bertajuk Efektivitas Tim Pemburu Koruptor”, Rabu (29/7/2020) kemarin.

Bagi Siska, hukum acara pidana yang ada, bila dijalankan secara konsisten oleh penegak hukum mampu mencegah kaburnya terpidana dari Indonesia. Aparat penegak hukum dalam menjalankan hukum acara pidana harus ketat, bukan malah melonggarkan. Seperti kewenangan penahanan terhadap pelaku tindak pidana mesti diberlakukan, apalagi terhadap pelaku korupsi.

Djoko Tjandra menjadi satu dari sekian buron yang kabur, namun masih dapat melenggang keluar masuk Indonesia tanpa ada upaya penangkapan. Sebaliknya, oknum penegak hukum seolah terpedaya dengan Djoko yang berujung menanggalkan jabatannya di institusi penegak hukum. Brigjen Prasetijo Utomo misalnya, tak hanya dicopot dari jabatannya Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, namun dia harus berurusan dengan hukum pidana. Kini Brigjen Prasetijo pun sudah berstatus tersangka.

Ironis, penegak hukum malah tersandung hukum. Begitupula Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia terpaksa menelan “pil pahit” berupa pencopotan jabatannya. Institusi penegak hukum yang ada, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semestinya mengoptimalkan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi (Tipikor).

Selain itu, kata Siska, memaksimalkan kerja sama dengan negara lain seperti MLA dan perjanjian ekstradisi. Namun repotnya, politik hukum yang dimiliki Indonesia mempengaruhi posisi daya tawar ke dunia internasional agar mau bekerja sama dalam bentuk MLA. Terdapat perbedaan aturan hukum di bidang korupsi, secara langsung mempengaruhi negara lain. Ujungnya negara lain enggan membuat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

“Seperti posisi tawar kita dengan Eropa, untuk hukuman mati kita masih perdebatan. Nah kebijakan-kebijakan itu mengurangi minat mereka membuat perjanjian ekstradisi,” ujarnya. (Baca Juga: Menyoal Pembentukan Tim Pemburu Koruptor, Efektifkah?)

Kemudian soal aset. Menurut Siska, ketika buron Djoko Tjandra kabur ke negara lain bukan tanpa manfaat. Sebab, Djoko Tjandra menjanjikan sesuatu bagi negara tempatnya berlabuh. Apalagi Djoko memiliki segudang investasi dan usaha bagi negara yang mau menampungnya. “Ada manfaat bagi negara penampung, sehingga ada pertarungan dengan Indonesia untuk dapat menarik Djoko Tjandra dari negara penampung.”

Terlepas persoalan instrumen dan perangkat hukum yang ada, pemerintah semestinya memperbaiki akar dari persoalan penegakan hukum yakni hukum acara pidana dan penerapannya.  Selain itu, memaksimalkan kerjasama melalui MLA dan perjanjian ekstradisi, sepanjang politik hukum yang ada di Indonesia pun dalam keadaan stabil.

Koordinator Divisi Kampanye Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter Kaban menilai Indonesia telah memiliki landasan hukum seperti MLA dan perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara. Selama penegakan hukum dilakukan secara serius, kedua instrumen hukum seharusnya diperkuat.

“Sebelum muncul wacana menghidupkan TPK, masalahnya apakah sudah ada evaluasi terhadap instrumen hukum kita? Seperti evaluasi KUHP maupun RKUHP yang menghidupkan pasal zombie. Sama seperti TPK organnya sudah mati suri dan mau dibangkitkan lagi,” kata Lola.

Tak relevan

Lola, begitu biasa disapa, berpandangan TPK merupakan konsep usang. Sebab TPK sudah dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres 5/2004 muncul di era rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Menurutnya, Inpres 5/2004 tak menyebut secara gamblang memberi mandat pembentukan TPK.

Hanya saja sejumlah institusi penegak hukum dan lainnya diminta bantuan mempercepat pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Sebelum KPK berdiri, terdapat banyak pelaku korupsi yang buron. Makanya terdapat celah dan jarak antara hukum yang berlaku bagi KPK serta para pelaku tersangka kasus korupsi. Meski UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor lebih dulu muncul, namun usia KPK saat itu masih terbilang muda.

“Jadi kita paham kenapa TPK saat itu diperlukan. Jadi wajar saat itu KPK bukan aktor utamanya. Jadi kenapa TPK di 2004 sampai 2009 menjadi kontekstual?” ujarnya.

Dalam perjalananya, kata Lola, sejak 2010 hingga saat ini KPK menjadi tumpuan pemberantasan korupsi. Dalam rentang sejak 2010 sudah mulai terlihat penindakan maupun pertanggungjawaban laporan kinerjanya setiap tahun. Soal meninjau ulang rencana pemerintah membangkitkan TPK masuk akal. Sebab sejarahnya saat itu Kejaksaan dan Kepolisian kerjanya belum optimal dalam pemberantasan korupsi, makanya dibentuk KPK.

“Ini menjadi tindakan blunder ketika menghidupkan lagi organ kalau dari konteks waktu, dia sudah tidak relevan. Kemudian kita sudah tahu dasar hukum prosedural yang seharusnya diperkuat tanpa perlu membentuk organ baru atau membangkitkan lagi organ lama,” kata Lola.

Namun, Lola mengakui prestasi TPK pernah menangkap 4 buron tersangka maupun terdakwa sejumlah kasus korupsi. Antara lain Andrian Kiki yang ditangkap pada 2008 dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kemudia Irawan Salim bos Bank Global, David Nusa Widjaja kasus BLBI. Namun ternyata jumlah buron yang diburu sekitar 16 buronan kabur ke luar negeri. Artinya, boleh dibilang hanya seperempat dari total jumlah buronan kabur ke luar negeri. “Kalau dibuat prosentase tidak bagus-bagus amat,” katanya.

Sebelumya, Menkopolhukam Mahfud MD ingin menghidupkan lagi Tim Pemburu Koruptor (TPK) yang akan bertugas mengejar pada pelaku tindak pidana korupsi yang hingga kini masih buron. Tim itu akan dipimpin oleh Kemenkopolhukan yang beranggotakan Polri, Kejaksaan Agung, dan Kemenkumham.

Mahfud tak mau ambil pusing dengan berbagai kritik terhadap pembentukan TPK. Namun, TPK nantinya tetap memperhatikan masukan dari masyarakat. “Saya akan terus mengerjakan secara serius tentang Tim Pemburu Koruptor ini. Tapi tetap memperhatikan saran-saran dari masyarakat,” ujar Mahfud MD beberapa waktu lalu.

Baginya, adanya beragam kritikan hal wajar di alam demokrasi. Keputusan mengaktifkan lagi TPK yang berfungsi memburu koruptor, aset, tersangka, terpidana dalam tindak pidana yang melarikan diri atau bersembunyi atau yang disembunyikan terus berproses. Nantinya, payung hukum pembentukan TPK adalah instruksi presiden (Inpres).

Dia mengklaim Inpres Pembentukan TPK pun sudah dikantonginya. Yang pasti, TPK tak akan mengambil peran dan tugas KPK sebagai lembaga independen yang melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan korupsi. “Yang diburu KPK tentu nanti dikoordinasikan tersendiri. KPK mungkin sudah punya langkah-langkah sendiri, tetapi kami koordinasikan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait