Pemerintah-DPR Tanggapi Gugatan Pencabutan P4
Berita

Pemerintah-DPR Tanggapi Gugatan Pencabutan P4

DPR menganggap ketentuan yang dimohonkan uji tidak bertentangan UUD 1945.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana hadir mewakili DPR untuk menyampaikan keterangan di ruang sidang MK, Kamis (25/6). Foto: Humas MK
Anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana hadir mewakili DPR untuk menyampaikan keterangan di ruang sidang MK, Kamis (25/6). Foto: Humas MK
Bolehkah Mahkamah Konstitusi menguji TAP MPR? Bagaimana pula dengan status TAP MPR dalam tata urutan peraturan perundang-undangan? Pertanyaan terakhir inilah yang kini harus dijawab Mahkamah Konstitusi. Sejumlah warga negara mempersoalkan eksistensi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pemohonnya adalah Adhie M. Massardi, Ratna Sarumpaet, Yudi Latif,  Wawan Hendriyanto, Robby Iwan Setiawan, Roni Agustinus Tri Prasetyo, Edi Firmanto, S, Trijono Hardjono, Nasirudin, Saiful Pristianto.

Pemohon antara lain mempersoalkan keberadaan TAP MPR No. I/MPR/2003 yang menyebut status TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Penegasan Pancasila Dasar Negara. Para Pemohon merasa dirugikan karena hilangnya dokumen kenegaraan Doktrin Politik Nasional tentang Penetapan Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara lantaran Pasal a quo turut dinyatakan sebagai TAP MPR yang tidak berlaku.

Menanggapi permohonan ini, pemerintah menganggap TAP dalam nomor urut 91 Pasal 6 TAP MPR No. I/MPR/2003 yakni TAP MPR No. XVIII/MOR/1998 sama sekali tidak ada keterkaitannya diatur/ditegaskan kembali dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mengapa? Sesuai Pasal 6 itu disebutkan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, dan telah selesai dilaksanakan adalah kebijakan politik ketatanegaraan yang ditetapkan MPR.

“TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang P4 dan Penegasan Pancasila Dasar Negara, berarti MPR waktu itu memandang Pancasila cukup dinyatakan sebagai dasar negara berdasarkan TAP MPR No. I/MPR/2003,” ujar Staf Ahli Kemkumham Agus Hariadi dalam persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (25/6).

Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b berbunyi, “Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.”

Agus mengakui ketentuan itu tidak menyinggung TAP No. XVIII/MPR/1998 yang memberi penegasan Pancasila sebagai dasar negara. Namun, perlu dipahami Penjelasan Pasal 2 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah ditegaskan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus dasar filosofis negara.

“Atas penempatan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara pada setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,” kata Agus.

Apabila anggapan pemohon perlu dihidupkan kembali P4 (Eka Prasetia Pancakarsa), tentunya harus menempuh melalui pembahasan dalam sidang MPR yang berwenang memutuskan TAP MPR, apakah pemikiran tersebut bisa diterima atau ditolak? Karena itu, persoalan ini bukanlah kewenangan MK untuk memutuskan konstitusionalitas TAP MPR.

“Jadi, kerugian yang didalilkan para pemohon tidak benar dan tidak terbukti. Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b itu juga sama sekali tidak menyatakan klarifikasi dan tidak memuat frasa ‘tidak berlaku’ seperti anggapan pemohon.”

Hal senada disampaikan DPR yang menyatakan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara sudah tegas dan jelas disebutkan dalam Penjelasan Pasal 2 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “Karena itu, DPR menganggap ketentuan itu tidak bertentangan UUD 1945,” tegas Anggota Komisi III DPR, I Putu Sudiartana.

Para pemohon mempersoalkan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terkait keberadaan TAP MPRS dan TAP MPR RI No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Menurutnya, dimasukkannya TAP MPR dalam tata peraturan perundang-undangan menyebabkan komplikasi yuridis konstitusional karena kedudukan TAP MPR hanya dibuat tanpa diatur lebih lanjut tata cara pembentukannya.

Misalnya, Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dalam Pasal 1 TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 secara material tidak termasuk TAP MPR yang bersifat final, secara formal telah dicabut, dan faktual belum selesai dikerjakan. Adanya pembatasan yang diberlakukan oleh pasal itu telah mengakibatkan 104 Ketetapan MPR dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut dan secara formal dinyatakan tidak berlaku.

Para Pemohon menganggap secara formal pembentukan aturan itu telah melanggar ketentuan pembuatan Penjelasan Undang-Undang seperti termuat dalam Lampiran II. Disebutkan, rumusan penjelasan pasal demi pasal tidak boleh bertentangan materi pokok dalam batang tubuh, tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma, larangan memuat perubahan terselubung terhadap peraturan perundang-undangan. Karena itu, para pemohon meminta MK menghapus pasal itu karena bertentangan UUD 1945.

“Merekomendasikan kepada MPR RI untuk segera melaksanakan Parlement Review atas kedudukan formal konstitusional TAP MPR No. I/MPR/2003 sebagai sumber hukum dalam Sistem Peraturan Perundangundangan Nasional, berikut pula terkait dengan penetapan status hukum 104 TAP MPR RI pada Pasal 6 TAP MPR No. I/MPR/2003 yang patut diduga bertentangan dengan UUD Tahun 1945,” sebut pemohon dalam petitumnya.
Tags:

Berita Terkait