Pemerintah Kehendaki Pilkada Langsung
Berita

Pemerintah Kehendaki Pilkada Langsung

Sistem pemilihan langsung dan tidak langsung tetap konstitusional.

Oleh:
RFQ/RZK
Bacaan 2 Menit
Djohermansyah Johan. Foto: SGP
Djohermansyah Johan. Foto: SGP
Polemik Pemilihan Kepalada Daerah (Pilkada) langsung terus bergulir di tengah masyarakat. Bagi sebagian kalangan, Pilkada langsung justru melibatkan masyarakat secara penuh. Sebaliknya, bagi sebagian kalangan DPR Pilkada tidak langsung lebih banyak manfaatnya ketimbang mudharatnya. Namun begitu, pemerintah tetap menghendaki Pilkada dilakukan secara langsung.

“Pemerintah posisinya sampai saat ini tetap menginginkan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih langsung,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Johan di Gedung DPR, Selasa (9/9).

Pemerintah, kata Djohermansyah, prinsipnya mengakomodir aspirasi masyarakat dengan Pilkada langsung, namun dengan catatan, sepanjang mekanisme Pilkada langsung diperbaiki. Memang, Pilkada langsung banyak menuai persoalan mulai politik uang di tengah masyarakat, banyaknya kericuhan, berbiaya mahal, hingga berujung gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Menurut Djohermansyah, mahalnya biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah yang unjuk taring dalam perhelatan Pilkada langsung bukan tidak mungkin berdampak negatif. Pasalnya, banyaknya kepala daerah terpilih masuk dalam lubang hitam korupsi.

“Kemendagri mencatat ada 332 dari 524 kepala daerah kena kasus hukum. Lebih dari enam puluh persen,” katanya.

Tantang besar bagi rezim pemerintahan dan DPR baru dalam menentukan aturan jika memang tetap menghendaki Pilkada langsung. Pertama, mekanisme dana kampanye dalam Pilkada langsung mesti dibuat semurah mungkin. Kedua, mensiasati agar anggaran negara  yang dikeluarkan negara tidak terlampau kedodoran dalam Pilkada, maka dilakukan Pilkada serentak. Dua resep itulah bagi Djohermansyah dipandang mampu dilakukan Pilkada langsung.

“Dengan dua hal itu tetap bertahan pada Pilkada langsung” ujarnya.

Ia menuturkan, pemerintah awalnya sempat berpandangan Pilkada tidak langsung. Artinya, Pilkada dilakukan melalui DPRD. Menurutnya, alasan pemerintah sempat menginginkan Pilkada tidak langsung lantaran terdapat akibat buruk dari mekanisme Pilkada langsung. Namun, melihat perkembangan di tengah masyarakat yang menginginkan Pilkda langsung, pemerintah mengambil jalan tengah dengan berada di belakang masyarakat.

“Kita tetap cari jalan keluarnya, kita perbaiki (sistem Pilkada langsung),” ujarnya.

Wakil Ketua DPR, Pramono Anung berpandangan dorongan diterapkannya Pilkada langsung dalam RUU Pilkada dilandasi motivasi politik untuk kepentingan jangan pendek. Bukan sebaliknya, membangun sistem demokrasi. Hal itu terlihat dalam Pilkada pada 2015 mendatang mencapai 115 kepala daerah. Jika diterapkan Pilkada tidak langsung, maka dapat ditengarai hak politik masyarakat akan dipangkas.

“Salah satu amanah dalam reformasi adalah dimana memberikan ruang yang cukup kepada rakyat tentang pilihannya,” ujarnya.

Menurutnya, banyak  tokoh yang memiliki kemampuan menjadi pemimpin daerah. Bahkan mungkin, memiliki peluang menjadi tokoh pemimpin nasional seperti halnya Joko Widodo. Menurutnya sistem Pilkada langsung dapat melihat jejak rekam calon kepala daerah secara menyeluruh mulai di daerah hingga nasional.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu berpandangan, pemaksaan Pilkada tidak langsung dalam RUU Pilkada akan menghilangkan kesempatan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. “Kalau ini memang dipaksakan maka ruang publik akan memberikan reaksi. Kalau kita lihat pada saat yang lalu, 1999-2004 hampir separuh anggota DPRD terkena korupsi,” ujarnya.

Terpisah, pakar Hukum Tata Negara (HTN) Jimly Asshiddiqie mengatakan, pemilihan sistem Pilkada langsung mau pun tidak langsung menjadi ranah DPR dan pemerintah dalam pembahasan RUU Pilkada. Menurutnya, sistem tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Dikatakan Jimly, alasan praktik politik uang dalam Pilkada langsung tak jauh berbeda dengan Pilkada tidak langsung.

Pasalnya, orang akan berlomba mendapatkan kekuasaan dengan berbagai cara. “Soal money politic, itu sama saja, selama ada nafsu orang berburu kekuasaan, praktik money politic bisa terjadi, apapun sistem pilkadanya,” ujarnya dalam sebuah seminar bertajuk ‘Manajemen Hakim sebagai Pejabat Negara’ di Gedung Komisi Yudisial (KY).

Ia berpandangan, sistem Pilkada tersebut tetap konstitusional. Nah, pemerintah dan DPR mesti mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara. Kendati demikian, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu berpadnangan perlu dipertimbangkan diubahnya makanisme langsung menjadi tidak langsung. Ia berpandangan perlu perbedaan antara Pilkada di tingkat provinsi dengan kotamadya maupun kabupaten.

“Tentu syarat-syarat demokrasi itu beda antara orang kota dengan desa, harus ada alasan yang objektif,” pungkas mantan Ketua MK itu.
Tags:

Berita Terkait