Akademisi dan LSM Kritik Pilkada oleh DPRD
Berita

Akademisi dan LSM Kritik Pilkada oleh DPRD

Dianggap tidak konstitusional.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Akademisi dan LSM Kritik Pilkada oleh DPRD
Hukumonline
Sejumlah akademisi dan LSM menolak pemilihan kepala daerah oleh DPRD karena dinilai bertentangan dengan konstitusi. Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menjelaskan penolakan itu berawal dari perubahan sikap sejumlah fraksi di DPR.

Semula pemerintah yang ngotot mengusulkan kepala daerah dipilih DPRD. Mayoritas fraksi ingin tetap dipilih langsung oleh rakyat. Belakangan terjadi perubahan peta politik. Sejumlah fraksi berubah haluan, mendukung sikap pemerintah. Tinggal PDIP, Hanura dan PKB yang menginginkan pilkada langsung. Partai anggota Koalisi Merah Putih kini menginginkan kepala daerah dipilih anggta DPRD.

“Dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR, terjadi perubahan drastis pada sikap fraksi di parlemen,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (05/9).

Pakar Pemilu sekaligus Advisor Kemitraan, Ramlan Surbakti, mengatakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD inkonstitusional karena tidak selaras dengan konstitusi. Menurutnya, pasal 18 ayat (4) UUD RI 1945 harus dilihat secara keseluruhan, berkaitan dengan pasal-pasal lainnya. Misalnya, konstitusi menjelaskan bentuk negara kita republik dan sistem pemerintahan presidensil. Kemudian, negara kita berbentuk kesatuan dan menjamin pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya lewat desentralisasi.

Atas dasar itu, Ramlan menyebut sistem pemilihan kepala daerah dan Presiden harus sejalan. Jika Presiden dipilih lewat Pemilu langsung, begitu pula dengan kepala daerah. Sebab, otonomi daerah memberi kewenangan yang luas kepada kepala daerah untuk memerintah wilayahnya.

Jika dalam pengesahan RUU Pilkada nanti ada ketentuan yang menyebut pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, Ramlan menyebutnya sebagai kemunduran. Sebab, pemilihan kepala daerah oleh DPRD hanya berlaku di negara dengan sistem pemerintahan parlementer. “Bila kepala daerah dipilih DPRD maka tidak konstitusional, tidak konsisten dengan sistem pemerintahan presidensil,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Correct, Refly Harun, menjelaskan pasal 18 ayat (4) UUD RI 1945 hanya menyatakan kepala daerah dipilih secara demokratis. Sehingga, muncul perbedaan tafsir dimasyarakat apakah kepala daerah dipilih lewat Pemilu langsung atau tidak. Kemudian, disepakati pemilihan kepala daerah dilakukan lewat Pemilu langsung.

Oleh karenanya jika mekanisme pemilihan itu dikembalikan ke DPRD seperti masa sebelumnya maka dapat dinyatakan tidak konstitusional. “Kalau (Pemilihan kepala daerah,-red) dikembalikan lagi ke DPRD, itu tidak konstitusional,” tukas Refly.

Selain itu Refly juga melihat ada tiga hal yang biasanya dilontarkan pihak yang menginginkan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Pertama, Pilkada langsung dituding rawan politik uang. Kedua, memboroskan anggaran. Ketiga, memicu konflik horizontal.

Terkait rawan politik uang, Refly mengatakan tidak ada jaminan kalau pemilihan kepala daerah yang dilakukan lewat DPRD bisa lepas dari politik uang. Bahkan ia menilai politik uang yang terjadi akan langsung menyasar elit politik dan anggota DPRD. Masalah politik uang baginya lebih menyasar pada penegakan hukum, bukan Pilkada langsung.

Soal biaya, menurut Refly sudah bisa diatasi dengan cara menggelar Pilkada langsung secara serentak. Kemudian, kecil kemungkinannya Pilkada langsung menyebabkan konflik horizontal yang berlangsung permanen. Walau terdapat konflik akibat Pilkada, tapi Refly mengatakan sifatnya hanya sporadis dan tidak berlangsung dalam waktu lama.

Direktur Puskapol UI, Sri Budi Eko Wardani, menilai mahalnya ongkos politik bukan disebabkan oleh Pilkada langsung, tapi biaya politik pencalonan yang tidak terbatas. Ia mencatat setiap kandidat calon kepala daerah bisa menghabiskan puluhan milyar rupiah. Menurutnya, itu juga diakibatkan oleh politik transaksional yang berimbas kepada calon kepala daerah.

Begitu pula dengan pandangan yang menyebut biaya untuk melaksanakan Pilkada langsung sangat boros. Sri mengatakan penyebab biaya tinggi dalam penyelenggaraan Pilkada langsung adalah proses politik dalam pencalonan kandidat kepala daerah. dalam rangka mendapat dukungan dari elit dan partai politik.

Sri menjelaskan, Indonesia telah melewati masa dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun, kerap terjadi konflik antara Kepala Daerah dan DPRD dalam mengambil kebijakan. Sehingga menghambat pembangunan di daerah. Karena itu diperkenalkan pilkada langsung. Dengan pilkada langsung, rakyat punya ruang yang luas untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah mereka. “Persoalannya bukan pada Pilkada langsung, tapi proses pencalonan kepala daerah yang berbiaya tinggi,” pungkasnya.
Tags: