Ini Alasan KMP Dorong Pilkada oleh DPRD
Berita

Ini Alasan KMP Dorong Pilkada oleh DPRD

Mekanisme pemilihan langsung dinilai melahirkan ketegangan dan kerawanan, baik sosial maupun politik.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ini Alasan KMP Dorong Pilkada oleh DPRD
Hukumonline
Sejumlah fraksi Koalisi Merah Putih (KMP) bersepakat mendorong pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) dilakukan oleh DPRD. Mekanisme itu didorong seiring dengan pembahasan RUU Pilkada yang menuai perdebatan di Panja. KMP terdiri dari Fraksi Gerindra, PAN, Demokrat, PPP, dan PKS.  Sejumlah alasan menjadi argumentasi KMP agar Pilkada tidak lagi dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Martin Hutabarat, mengatakan sistem Pilkada langsung cenderung rawan korupsi. Bahkan, rentan dengan praktik politik uang di saat pemilihan langsung di tengah masyarakat. Bukan menjadi rahasia umum, bagi calon peserta Pilkada tingkat kabupaten dan kota mengeluarkan biaya hingga miliaran rupiah. Jika terpilih, bukan tidak mungkin mereka berupaya mengembalikan modal dana kampanye dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma hukum.

“Misalnya, cawe-cawe dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD),” katanya di Gedung DPR, Jumat (5/9).

Anggota Komisi III itu berpandangan, mekanisme Pilkada melalui DPRD relatif mudah diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Martin, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), setidaknya terdapat ratusan kepala daerah yang tersandung kasus korupsi sepanjang pemberlakuan sistem Pilkada langsung.

“Jadi pilkada langsung harus diakui rawan korupsi,” ujarnya.

Sekjen Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), M Romahuhurmuziy, menambahkan fraksinya telah mengusulkan moratorium Pilkada langsung. Setidaknya, terdapat beberapa catatan yang diberikan oleh pria yang biasa disapa Romy itu.

Pertama, sepanjang pemberlakuan Pemilukada langsung, sedikitnya 292 kepala daerah berurusan dengan penegak hukum. “Sedangkan sebelumnya, 60 tahun Pilkada tak langsung tidak banyak persoalan hukum berarti,” ujarnya.

Ketua Komisi IV itu berpandangan, Pilkada langsung rawan memunculkan praktik nepotisme. Misalnya, membangun dinasti keluarga untuk mempertahankan kekuasaan. Selain rawan politik uang, Pilkada juga awan dengan politik balas budi. Pasalnya, hanya desa tertentu yang memberikan konstribusi suara terbanyak yang akan mendapat perhatian program pembangunan lebih.

“Ada uang abang disayang, tak ada uang abang melayang,” ujarnya.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Hidayat Nurwahid, mengatakan berubahnya sikap fraksi PKS yang awalnya mendukung Pilkada langsung menjadi tidak langsung disebabkan sikap KMP yang satu suara. Padahal, sehari sebelumnya dalam rapat Panja RUU Pilkada, FPKS kekeuh Pilkada dilakukan dengan langsung.

Dikatakan Hidayat, fraksinya beralasan pemilihan tidak langsung dapat menutup praktik politik uang dalam Pilkada. Tak kalah penting, menutup kesempatan individu di luar partai maju sebagai kepala daerah.  Namun, jika terdapat tokoh independen dipandang berkualitas, maka parpol dapat menarik ke dalam partai dan mengusungnya menjadi calon kepala daerah.

“Ini memaksimalkan makna demokrasi berjenjang dan menutup kesempatan kelompok independen,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Demokrat, Khatibul Umam Wiranu, mengatakan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak menyebutkan pemilihan kepala daerah dilakukan langsung, tetapi secara demokratis. Dengan begitu, kata Umam, mekanisme langsung maupun tidak langsung merupakan persoalan teknis yang tidak mengurangi makna demokratis.

Ia mencatat penerapan mekanisme Pemilukada langsung kerap menimbulkan persoalan, hingga berujung ke meja Mahkamah Konstitusi (MK). “Hampir semua tahapan melahirkan ketegangan dan kerawanan baik sosial maupun politik. Belum lagi praktek money politic yang mereduksi nilai-nilai moral di tengah masyarakat. Dengan begitu, pilkada langsung lebih banyak mudrotnya di banding manfaatnya,” ujarnya.

Langkah Mundur
Direktur eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan Pilkada melalui DPRD merupakan langkah mundur. Menurutnya, pendekatan Pilkada tidak langsung sejatinya mengingkati semangat dan tujuan besar proses demokrasi di Indonesia. Padahal, demokrasi mensyaratkan peningkatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat sepenuhnya.

Dengan begitu dapat menguatkan transparansi proses politik dan ketatanegaraan. “Serta menjamin akuntabilitas proses peralihan kekuasaan dan kepemimpinan baik dalam skala nasional maupun lokal, sehingga lahir pemimpin yang betul-betul bertanggungjawab terhadap rakyatnya,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPD.

Menurutnya, alasan mahalnya ongkos penyelenggaraan  Pemilukada tidak berarit menjustifikasi pemilihan melalui DPRD. Ia berpandangan jalan keluarnya memperbaiki kualitas aturan yang mengatur proses penyelenggaraan Pemilukada. “Harus diakui peraturan yang digunakan dalam penyelenggaraan Pemilukada memang isinya jauh lebih mundur,” ujarnya.

Di tempat yang sama, caleg terpilih dari Partai Nasdem yakni Luthfi Andi Mutty mengatakan Pemilukada melalui DPRD tidak menjadi jaminan mengakhiri praktik korupsi dan kerusuhan. Menurutnya, kualitas  politisi lokal  yang lahir secara instan dengan mentalitas menerabas, sehingga tidak memiliki kematangan dan kedewasaan politik.

“Karena itu jangan heran jika banyak diantara mereka terpilih menjadi anggota DPRD atau kepala daerah tidak perduli dengan kepentingan umum, negara dan bangsa. Tetapi asyik dengan dengan kepentingan pribadi,” pungkas mantan Bupati Luwu Utara itu.
Tags:

Berita Terkait