Pemerintah Kritik Kebijakan Malaysia Soal Direct Hiring Buruh Migran
Berita

Pemerintah Kritik Kebijakan Malaysia Soal Direct Hiring Buruh Migran

Karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pelayanan untuk buruh migran di bandara. Foto: SGP
Ilustrasi pelayanan untuk buruh migran di bandara. Foto: SGP

Belum lama ini pemerintah Malaysia menerbitkan kebijakan perekrutan langsung (direct hiring) buruh migran sektor domestik dan berlaku 1 Januari 2018. Sekjen Kementerian Ketenagakerjaan, Hery Sudarmanto, menyesalkan kebijakan itu dibentuk pemerintah Malaysia secara sepihak.

 

Menurutnya, sebelum menerbitkan kebijakan tersebut otoritas Malaysia harusnya melibatkan negara lain yang warga negaranya bekerja sebagai buruh migran sektor domestik di Malaysia salah satunya Indonesia. Tercatat dari sekitar 3 jutaan buruh migran Indonesia yang bekerja di Malaysia sebagian besar berada di sektor domestik.

 

Hery menjelaskan MoU Indonesia-Malaysia mengenai penempatan buruh migran sektor domestik sudah berakhir sejak 31 Mei 2016. Sampai saat ini kedua negara belum memperbaharui perjanjian tersebut. Hery mengatakan sebelum MoU itu berakhir pemerintah Indonesia sudah mengingatkan dan melayangkan draft MoU kepada pemerintah Malaysia untuk segera dibahas. Namun, pemerintah Malaysia sampai sekarang belum merespon serius.

 

Menurut Heri perekrutan langsung itu berpotensi menabrak peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dan PP No.5 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penilaian dan Penetapan Mitra Usaha dan Pengguna Perseorangan.

 

“MoU Indonesia-Malaysia soal penempatan buruh migran sudah berakhir. Pemerintah Indonesia mendesak Malaysia segera membahas perjanjian bilateral yang menjadi payung hukum penempatan buruh migran Indonesia sektor domestik itu,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (10/1).

 

Selaras itu Hery meminta Ditjen Imigrasi untuk mencegah penempatan buruh migran sektor domestik ke Malaysia yang tidak mengikuti prosedur. Menurutnya kebijakan pemerintah Malaysia mengenai direct hiring itu tidak sesuai dengan prosedur penempatan buruh migran yang berlaku di Indonesia.

 

Sekretaris Utama BNP2TKI, Hermono, mengatakan kebijakan perekrutan langsung ini bukan hanya berlaku bagi buruh migran Indonesia tapi juga buruh migran sektor domestik dari negara lain. Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum mengetahui bagaimana mekanisme perekrutan langsung itu.

 

Tapi dari informasi yang dihimpun dari sejumlah media di Malaysia, Hernowo menyebut perekrutan itu akan dilakukan tanpa melalui agen atau mitra usaha di Malaysia. Pengguna jasa buruh migran bisa mengajukan langsung melalui Kementerian Ketenagakerjaan di Malaysia. Ada pula yang menyebut pengguna jasa bisa merekrut langsung buruh migran.

 

(Baca Juga: Perlu Dibuat Strategi Nasional Perlindungan Buruh Migran)

 

Menurut Hernowo, Pasal 2 PP No.5 Tahun 2013 mengatur PPTKIS/PJTKI yang melaksanakan penempatan pada pengguna perseorangan harus melalui mitra usaha atau agen di negara tujuan penempatan. Prosedur yang berlaku selama ini, calon pengguna jasa buruh migran mengajukan permintaan kepada agen yang berada di Malaysia. Selanjutnya, agen itu yang mengurus permohonan tersebut ke KBRI di Malaysia.

 

Pemerintah Indonesia tidak bisa memproses penempatan buruh migran sektor domestik yang tidak melalui prosedur tersebut. Oleh karenanya Hernowo khawatir kebijakan perekrutan langsung itu akan mendorong calon buruh migran sektor domestik langsung menyambangi Malaysia tanpa melalui prosedur yang telah ditetapkan. Padahal buruh migran sektor domestik sangat rentan dan butuh kepastian pemenuhan hak serta perlindungan.

 

Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, mengingatkan pemerintah Malaysia untuk berkonsultasi terlebih dulu dengan Indonesia sebelum menerbitkan peraturan yang berkaitan dengan buruh migran terutama sektor domestik. Menurutnya, kebijakan itu ditujukan pemerintah Malaysia untuk memangkas ongkos yang dikeluarkan pengguna jasa buruh migran. “Apapun kebijakan terkait buruh migran yang dibentuk Malaysia harus dibicarakan (bilateral) melalui forum resmi,” tegasnya.

 

Iqbal menyebut sedikitnya ada 2 hal yang perlu dibahas lebih lanjut mengenai kebijakan perekrutan langsung itu. Pertama, harus memperhatikan aspek perlindungan bagi buruh migran. Masyarakat internasional mengakui posisi buruh migran sektor domestik tergolong rentan. Kedua, kebijakan itu harus selaras dengan hukum nasional di Indonesia dan Malaysia.

 

“Sebelumnya kami juga sudah menerbitkan nota diplomatik kepada pemerintah Malaysia, mengingatkan ada sejumlah hal yang harus diperhatikan sebelum menerbitkan peraturan tersebut,” urai Iqbal.

 

(Baca juga: Pemerintah Diminta Tuntaskan Peraturan Pelaksana UU ASN)

 

Terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, mengatakan kebijakan ini dilematis karena pengurangan ongkos rekrutmen buruh migran dibutuhkan. Namun, jika tidak ada peran birokrasi dalam melakukan pengawasan akan rentan terjadi perdagangan manusia.

 

Wahyu menilai pemerintah Malaysia memanfaatkan kekosongan hukum dalam mekanisme perlindungan dan penempatan buruh migran Indonesia ke Malaysia karena MoU kedua negara sudah habis. Untuk mengatasi persoalan ini kedua negara harus membahas kembali MoU atau perjanjian bilateral yang berlandaskan konsensus perlindungan buruh migran yang disepakati tahun lalu. Dalam konsensus itu memuat berbagai ketentuan yang memberi perlindungan terhadap buruh migran khususnya sektor domestik.

 

Bisa juga untuk mengurangi ongkos rekrutmen menggunakan mekanisme seperti di Singapura. Pengguna bisa merekrut langsung, tapi penandatangan kontrak kerja dengan buruh migran yang bersangkutan disaksikan KBRI. “Ini penting untuk memutus mata rantai para pihak yang selama ini mengambil banyak keuntungan dari proses perekrutan buruh migran seperti PJTKI/PPTKIS dan agen,” tukasnya ketika dihubungi, Sabtu (13/1).

 

Selain memanfaatkan kekosongan hukum dalam penempatan buruh migran karena MoU Indonesia-Malaysia telah berakhir, Wahyu berpendapat pemerintah Malaysia melihat celah transisi dari UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) menjadi UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).

 

Ditambah lagi saat ini Malaysia masuk tahun politik, para kandidat yang ikut kontestasi saling merebut simpati. Menurut Wahyu salah satu isu yang sering digunakan untuk meraih suara yakni buruh migran. Dengan biaya rekrutmen yang semakin murah, diharapkan masyarakat Malaysia bisa memilih kembali pemerintahan yang saat ini berkuasa.

 

Tags:

Berita Terkait