Pemerintah Sebut Permohonan INews dan RCTI Bentuk Penambahan Norma Baru
Berita

Pemerintah Sebut Permohonan INews dan RCTI Bentuk Penambahan Norma Baru

Pemerintah meminta agar Yang Mulia Para Hakim Konstitusi menolak permohonan para pemohon atau setidak-tidaknya secara bijaksana menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: SGP/Hol
Gedung MK. Foto: SGP/Hol

Sidang pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terkait konstitusionalitas penyiaran melalui internet yang diajukan oleh RCTI dan INews kembali digelar. Agendanya, mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah, tapi pihak DPR berhalangan hadir.

Dalam keterangannya, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M. Ramli menilai permohonan para pemohon sebenarnya tidak meminta tafsir atas kata atau frasa dari ketentuan itu yang dianggap tidak jelas. Namun, meminta penambahan norma baru dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran atas definisi penyiaran dalam pasal a quo.

Dia menilai penambahan norma baru dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran dalam petitum akan menimbulkan subjek dan objek hukum baru dalam penyelenggaraan penyiaran. Pasal 1 angka (2) UU Penyiaran merupakan norma definisi yang dipergunakan dalam UU Penyiaran dan peraturan pelaksanaannya. Apabila permintaan penambahan norma baru atas Pasal 1 angka 2 dikabulkan, sama saja artinya membentuk UU Penyiaran baru.

“Karena akan mengubah struktur dan makna UU Penyiaran secara keseluruhan beserta peraturan pelaksanaannya. Permohonan ini sebagai positive legislature yang bukan wewenang MK.” kata Ahmad M. Ramli mewakili keterangan Pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU Penyiaran, Rabu (26/8/2020). (Baca Juga: RCTI dan Inews Perbaiki Uji Aturan Penyiaram Lewat Internet)

Pemerintah menegaskan petitum para pemohon bertujuan mengubah UU Penyiaran dengan cara menambah norma baru tanpa melalui mekanisme politik hukum pembentuk undang-undang, tapi melalui persidangan di MK. Berdasarkan Putusan MK No. 48/PUU-IX/2011 dan pandangan dari Martitah dalam bukunya berjudul Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive Legislature?”, harus ada alasan-alasan untuk dapat diberikan putusan yang bersifat positive legislature dari MK.

Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat permohonan para pemohon tidak dapat dikategorikan sebagai permohonan tafsir MK dalam fungsi sebagai The Guardian of Constitution karena meminta norma baru dan posita para pemohon sama sekali tidak menunjukkan dalil-dalil yang dapat dipertimbangkan untuk dapat diberi putusan yang positive legislature. 

“Sudah sepatutnya Yang Mulia Para Hakim Konstitusi menolak permohonan para pemohon atau setidak-tidaknya secara bijaksana menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” kata Ahmad. 

Pemerintah juga menilai akan menimbulkan pemaknaan yang keliru apabila menyeragamkan pengaturan atas jenis-jenis media, hanya karena diantara jenis-jenisnya yang berbeda dapat menyampaikan bentuk informasi yang sama. Landasan filosofi dibentuknya UU Penyiaran untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia, dan terlaksananya otonomi daerah.

“Penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab,” ujar Ahmad mengingatkan.

Seperti diketahui, para pemohon No. 39/PUU-XVIII/2020 ini adalah PT Visi Citra Mitra Mulia (INews TV) yang diwakili David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur (Pemohon) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur (Pemohon II). Tim kuasa hukum Pemohon tediri atas Taufik Akbar dkk. 

INews dan RCTI mempersoalkan penyiaran melalui internet melalui uji materi beberapa pasal, salah satunya Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran terkait sistem penyiaran melalui spektrum frekuensi radio. Kedua pemohon meminta agar layanan siaran televisi secara online ini seharusnya diatur pula dalam UU Penyiaran karena memiliki unsur-unsur yang sama sebagaimana halnya lembaga penyiaran konvensional, seperti gambar, suara, grafis, karakter, dan lain-lain.

Para Pemohon melakukan pengujian materil Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang menyebutkan, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima.

Bagi Pemohon, Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional karena menyebabkan adanya pelakukan yang berbeda (unequal treatment) antara para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.

Secara sederhana OTT sebagai layanan konten berupa data, informasi atau multimedia yang beroperasi melalui jaringan internet yang sedikitnya ada tiga kategori. Pertama, aplikasi seperti whatsapp, Line, Telegram, Skype, Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain. Kedua, konten/video on demand/streaming, seperti Youtube, HOOQ, Iflix, Netflix, Viu, dan lain-lain. Ketiga, jasa seperti Go-Jek, Grab, Uber. 

Menurut pemohon, tidak adanya kepastian hukum penyiaran menggunakan internet seperti layanan OTTdalam definisi penyiaran sebagaimana diatur Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran. Padahal UU a quo merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan.

Tags:

Berita Terkait