Pemerintah Tak Bisa Paksakan Taksi Pakai BBG
Berita

Pemerintah Tak Bisa Paksakan Taksi Pakai BBG

Harga konverter kit yang mahal dan sulitnya SPBG menjadi ganjalan.

CR15
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Tak Bisa Paksakan Taksi Pakai BBG
Hukumonline

KementerianEnergi dan Sumber Daya Mineral(ESDM)mempunyai ide agar  pengadaan armada taksi yang baru menggunakan konverter kit. Konverter ini digunakan agar tanki yang biasa diisi bahan bakar minyak (BBM) dapat diisi bahan bakar gas (BBG). Cara ini diharap dapat memaksimalkan program konversi BBM ke BBG.

"Saya punya ide, sudah saya bicarakan dengan gubernur Jakarta dan pengusaha taksi, kalau pengadaan  taksi-taksi yang unit baru nanti saya minta menggunakan converter kit, jadi bisa gunakan BBG," kata Menteri ESDM JeroWacik di Jakarta.

MenurutWacik,Kementerian ESDMakan membangun enam stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG)di Jabodetabek. Nantinya, SPBG itu akan memiliki alokasi gas khusus sebesar 35,5 juta standar metrik kaki kubik per hari (mmscfd).

Di sisi lain, Ketua Umum Organda Eka Sari Lorena mengaku pihak pengusaha keberatan jika dibebankan kewajiban untuk membeli konverter kit. Lorena menjabarkan, harga konverter bias mencapai Rp11 juta hingga Rp20 juta. Dengan demikian, jika pengusaha harus mengeluarkan biaya tambahan untuk konverter ia khawatir masyarakat juga akan terbebani.

"Ya enggak apa-apa kalau dibebankan kepada pengusaha, nanti masyarakat juga akan terbebani," ujar Lorena.

Lorena mengamini bahwa awalnya pengusaha angkutan umum sepakat agar angkutan umum jenis taksi memakai BBG untuk menghemat stok BBM bersubsidi. Namun,ia menjelaskan kewajiban membeli konverter dirasa memberatkan. Untuk itu pihaknya meminta pemerintah untuk memberikan insentif kepada pengusaha taksi.

"Ya insentif itu berupa konverter kit. Dengan begitu, para pengusaha juga bersedia dengan ikhlas memasang konverter kit," tuturnya.

Selain masalah konverter yang mahal, pengusaha juga terkendala dengan ketersediaan SPBG yang masih sangat terbatas. Taksi Tiara Express yang sudah menggunakan konverter untuk mengisi BBG, misalnya, kadang terpaksa tetap harus menggunakan BBM.

“Saat tidak menemukan SPBG karena jarang di Jakarta, terpaksa pakai pertamax,” kata Corporate Secretary PT Express Transindo Utama Tbk, Merry Anggraini singkat.

Sebenarnya, kebijakan penggunaan gas untuk transportasi bukan hal baru dalam wacana transportasi di Indonesia. Sejak Juli 1986, gagasan itu sudah muncul dalam sebuah lokakarya World Energy Conference di Jakarta. Pemerintah saat itu juga telah menetapkan kebijakan konservasi dan diversifikasi energi pada PELITA IV untuk menurunkan konsumsi BBM sebesar 59.5 % dari sebelumnya 63.3%.

Selain itu, pemerintah juga telah memberikan payung hukum lewat Peraturan Menteri ESDM No. 3 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri ESDM No. 19 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk BBG yang Digunakan Untuk Transportasi.

Kebijakan penggunaan BBG sudah diimplementasikan dalam kurun lebih dari 25 tahun, namun penggunaannya masih sangat kecil. Menurut Pengamat Migas Pri Agung Rakhmanto, memang program konversi BBM untuk transportasi ke gas tidak bisa dilakukan sampai 100 persen.

"Program BBG ini hanya akan jadi pelengkap kebijakan lain, seperti pembatasan ataupun kenaikan harga BBM," katanya.

Ia mengingatkan, pemakaian BBG hanyalah sebuah alternatif. Menurutnya, program konversi BBM ke BBG transportasi tidaklah sama dengan minyak tanah ke elpiji yang bisa menggantikan hampir 100 persen. Di negara manapun, tidak ada paksaan memakai BBG.

“Pemerintah tidak bisa memaksakan pelaksanaan program konversi BBM ke BBG ke semua kendaraan,” tandasnya.

Selama ini, pemerintah melaksanakan program konversi BBM ke BBG tersebut masih parsial dan belum berskala nasional. Sasarannya hanya 200-300 kendaraan per kota. Artinya, volume BBM yang akan terkonversi ke BBG jika proyek berhasil dan berkelanjutan pun tidak akan lebih dari 0,01 juta kiloliter per tahun atau kurang dari 0,03 persen volume BBM subsidi nasional.

“Jika mencakup 100 ribu kendaraan terkonversi ke BBG baru akan memberikan dampak pengurangan subsidi yang cukup signifikan yakni 8,7 juta kiloliter per tahun atau 21 persen volume BBM subsidi nasional,” pungkas Pri Agung.

Tags:

Berita Terkait