Pemerintah Target UU Hukum Perdata Internasional Rampung di 2022
Utama

Pemerintah Target UU Hukum Perdata Internasional Rampung di 2022

Harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan klasik seputar HPI serta melindungi dan memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak keperdataan dari subjek hukum di Indonesia.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Terkait hal ini, Tudiono menyampaikan grafik perkembangan transaksi elektronik di Indonesia. Perdagangan elektronik ritel di Indonesia diperkirakan tumbuh 133,5% menjadi US$16,5 miliyar atau sekitar Rp 219 triliun pada 2022 dari tahun 2017. Karena itu dengan adanya UU HPI, transaksi elektronik ini diharapkan terus mengalami kenaikan karena adanya kepastian hukum bagi pelaku usaha maupun konsumen.

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Perencana di Direktorat Hukum dan Regulasi Bappenas, Tanti Dian Ruhama, yang menyampaikan pembangunan substansi hukum perdata merupakan salah satu prioritas nasional. Menurut Tanti, arah reformasi hukum kedepan berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan iklim kemudahan berusaha. “Peningkatan kepercayaan dunia internasional untuk menjalin hubungan ekonomi dengan Indonesia,” ungkap Tanti di kesempatan yang sama.

Substansi HPI

Kemudian, Tiga hal penting yang akan diatur dalam RUU Hukum Perdata Internasional, menurut Tudiono, antara lain terkait Badan Peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing (choice of jurisdiction); hukum mana yang harus diberlakukan untuk mengatur dan menyelesaikan persoalan (choice of law); dan sejauh mana pengadilan harus memperhatikan dan mengakui putusan pengadilan asing (recognition and enforchment of foreign legal judgments).

Terkait ini, Partner Assegaf Hamzah & Partners, Eri Hertiawan, menjelaskan untuk menentukan apakah suatu perkara hukum dapat dikategorikan sebagai persoalan HPI, maka titik-titik taut primer perlu diperhatikan. Titik taut primer adalah fakta yang menunjukan bahwa terdapat lebih dari satu aturan/sistem hukum dalam suatu perkara hukum.

“Apabila dalam suatu perkara hukum terdapat titik-titik taut primer, maka perkara tersebut dapat dikualifikasikan sebagai persoalan HPI,” terang Eri.

Untuk menentukan aturan/sistem hukum mana yang berlaku, maka kita perlu melihat kaidah HPI dari forum (lex fori) dimana perkara hukum tersebut dilangsungkan. Lex fori akan menunjuk aturan/sitem hukum negara mana yang harus diberlakukan. Selanjutnya, untuk menyelesaikan perkara hukum terkait, perlu melihat hukum substantif/material dari negara yang ditunjuk tersebut (lex causae).

Eri mengungkapkan tentang adanya permasalah dalam praktik terkait HPI. Dalam eksekusi putusan oengadilan asing dan pilihan hukum, masih terdapat permasalah eksekusi putusan asing yang harus secara tegas diatur dalam hukum positif di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait