Pemerintah Tetapkan Tahun Magang, Serikat Buruh: Pemagangan Lebih Buruk daripada Outsourcing
Terbaru

Pemerintah Tetapkan Tahun Magang, Serikat Buruh: Pemagangan Lebih Buruk daripada Outsourcing

Serikat buruh menilai peserta magang mengerjakan pekerjaan yang dilakukan buruh, tapi tingkat kesejahteraannya berbeda. Sebab, peserta pemagangan tidak mendapat upah, hanya uang saku yang besarannya ditentukan sendiri oleh perusahaan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Hol
Ilustrasi. Hol

Pemerintah melakukan upaya untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja di Indonesia, salah satunya dengan program magang. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menetapkan tahun 2021-2022 sebagai tahun magang. Magang diyakini menjadi solusi positif mengingat ada kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi di tengah produktivitas perusahaan yang menurun selama pandemi Covid-19.

"Kami canangkan Tahun 2021-2022 akan menjadi the Year of Apprenticeship atau Tahun Magang," ujar Ida Fauziyah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (1/7/2021).

Ida menjelaskan pemagangan merupakan konsep belajar sambil bekerja (learning by doing). Proses magang mengajarkan peserta magang untuk membiasakan diri mengikuti proses pekerjaan yang biasa dilakukan dan akan dilakukan. Melalui magang, peserta tidak hanya melihat dan mendengarkan teori, tetapi mereka juga harus melakukan pekerjaan secara manual atau nyata.

Melalui proses pembelajaran dalam magang, Ida mengatakan pemagangan dapat secara langsung memperoleh keterampilan dan pengetahuan serta sikap saat bekerja. "Magang menjadi sarana pencari kerja untuk learning by doing. Dengan magang yang diperoleh oleh pencari kerja, bukan hanya skill teknis (hardskill), tapi juga soft skill (etos dan disiplin kerja). Magang adalah paket komplit pelatihan," ujarnya.

Dia menerangkan ada 1.700 perusahaan Jepang yang menjadi member Jakarta Japan Club (JJC). Mereka akan menyampaikan dan mendorong para anggotanya di sektor otomotif, konstruksi, alat berat, bahkan penempatan magang ke Jepang dan lainnya untuk menyelenggarakan magang.

Dalam keterangan tertulisnya, Presiden JJC, Takuji Konzo, menyatakan siap untuk membantu pemerintah Indonesia menggulirkan pemagangan di seluruh perusahaan yang tergabung dalam JJC. Dia juga meminta dukungan Kementerian Ketenagakerjaan untuk mengatasi persoalan di lapangan. “Misalnya bagaimana memberi pengertian kepada serikat buruh, pemahaman kepada pengawas dan dinas ketenagakerjaan,” ujarnya.

Terpisah, Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Riden Hatam Aziz, berpendapat praktik pemagangan rawan disalahgunakan. Peserta magang kerap dipekerjakan, seperti pekerja/buruh pada umumnya. Tingkat kesejahteraan peserta magang jauh berbeda dengan pekerja/buruh.

“Dalam ketentuannya, peserta pemagangan hanya mendapatkan uang saku. Tetapi tak jarang mereka dipekerjakan selayaknya pekerja. Mereka bekerja delapan jam sehari atau 40 jam seminggu, bahkan ada yang diwajibkan untuk ikut lembur,” kata Riden.

Riden menilai praktik pemagangan lebih buruk dari outsourcing. Buruh outsourcing memiliki hak untuk mendapat upah paling sedikit upah minimum dan jaminan sosial. Tapi peserta pemagangan tidak mendapat upah, hanya uang saku yang besarannya ditentukan sendiri oleh perusahaan.

Menurut Riden, perusahaan cenderung memilih merekrut peserta magang daripada pekerja/buruh. Dia mencatat praktik pemagangan mulai marak tahun 2016 ketika Presiden Joko Widodo meresmikan gerakan pemagangan nasional. Baginya pencanangan tahun 2021-2022 sebagai tahun magang perlu dibatalkan karena yang diperlukan sekarang itu memastikan agar buruh yang masih bekerja tidak kehilangan pekerjaannya karena terdampak pandemi. “Pemerintah lebih baik membuka lapangan kerja baru,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait