Pemilu 2014 Panas dan Rawan Kecurangan
Berita

Pemilu 2014 Panas dan Rawan Kecurangan

Bentuk kecurangan memiliki modus yang umum terjadi.

KAR
Bacaan 2 Menit
Pemilu 2014 Panas dan Rawan Kecurangan
Hukumonline
Kekuatan partai politik akan bersaing ketat dan masing-masing berkepentingan untuk memenangkan pemilu tahun ini. Situasi pun diperkirakan akan lebih panas dibandingkan pemilu sebelumnya. Kondisi ini akan semakin terasa pada saat pemilihan presiden bulan Juli nanti.

Demikian analisis Direktur Program Imparsial, Al Araf, diskusi "Potensi Kekerasan dan Kecurangan dalam Pemilu 2014" di Jakarta, Senin (7/4). Al Araf menilai, setelah pilpres ketegangan politik pun tidak akan surut. Terlebih lagi, jika hasil pilpres hanya terpaut tipis. Ia mengatakan bahwa akan muncul kekuatan-kekuatan yang bertarung dengan mengerahkan massa akibat lunturnya kewibawaan Mahkamah Konsitusi dalam menyelesaikan sengketa pemilu.

"Apapun hasil putusan MK mengenai pertarungan pilpres tidak akan dianggap. Potensi konflik akan semakin meningkat jika pemenang pemilu hanya terpaut lima hingga 10 persen. Prediksi saya mobilisaasi akan besar saat itu," ujarnya.

Anggota Bawaslu RI, Daniel Zuchron, juga melihat masih banyak potensi kecurangan yang akan terjadi dalam pemilu kali ini. Ia menyoroti proses pelaksanaan pemilihan legislatif yang tinggal menghitung hari. Menurutnya, kecurangan dalam pileg masih membayangi banyak wilayah di Indonesia.

“Berdasar data dari Bawaslu dari sebanyak 6.524 kecamatan yang ada di Indonesia terdapat 2.151 kecamatan yang rawan terjadinya kecurangan Pemilu. Dari total 6.524 kecamatan sebanyak 729 kecamatan sangat rawan dan 1.422 kecamatan rawan. Selebihnya aman karena faktor-faktor penyebab kecurangan terbilang rendah," katanya.

Daniel menyampaikan, berdasar data yang dihimpun dari pemilu sebelumnya, daerah yang paling rawan berada di Pulau Jawa. Menurutnya, potensi kecurangan disebabkan situasi dan kondisi geografis dan kultural masyarakat di daerah tersebut. Ia merinci, situasi tersebut antara lain karena penyelenggaraan pemilu sebelumnya kerap terjadi kecurangan. Selain itu, tingkat kemiskinan tinggi dan minimnya masyarakat mengakses informasi dan transportasi juga membuka potensi itu.

“Termasuk daerah yang terkena bencana alam dan memiliki kultur sosial sering terjadi konflik. Jumlah daftar pemilih yang lebih tinggi dibanding jumlah penduduk atau pertumbuhan penduduk yang tidak wajar juga menimbulkan potensi kecurangan,” katanya.

Daniel mengakui data yang dimilikinya tidak sepenuhnya faktual karena harus dikombinasi dengan temuan Panwaslu di lapangan. Ia menyatakan bahwa data tersebut didapatkan dari penggalian yang dilakukan Bawaslu di setiap Pemilu dan Pemilukada. Oleh karena itu, menurutnya data yang disampaikan bersifat referensi.

Kendati demikian, ia mengatakan bahwa bentuk kecurangan memiliki modus yang umum terjadi. Dirinya menyebutkan, modus tersebut adalah dengan manipulasi data pemilu mulai dari data pemilih, hingga penghitungan surat suara. Tak hanya itu, Daftar Pemilih yang belum jelas dikhawatirkan menjadi celah untuk terjadinya kecurangan dengan modus pemilih ganda, memasukkan nama yang sudah meninggal, fiktif, atau memalsukan form C6 (undangan pencoblosan). Ada juga yang menggunakan hak pilih lebih dari sekali atau memobilisasi pemilih.

“Potensi kecurangan juga terjadi dengan transaksi jual beli suara antar partai. Dampak dari kecurangan itu adalah dampak elektoral, " jelasnya.

J. Kristiadi, Peneliti Senior Centre for Strategic of International Studies (CSIS)  mengungkapkan, cacatnya sistem demokrasi di Indonesia sudah sejak lahir. Pasalnya, pemiu tidak menjamin orang-orang yang dipilih dapat mewakili ratusan juta rakyat.

"Demokrasi sudah cacat sejak lahir. Demokrasi tidak mungkin tanpa demokrasi perwakilan. Lalu apakah 1.000 orang mewakili 240 juta rakyat? Tidak. Padahal dalam sistem demokrasi semua rakyat ikut mengurus negara," katanya.
Tags:

Berita Terkait