Pemilukada Langsung, ‘Duri’ Dalam Sistem Otonomi Daerah
Fokus

Pemilukada Langsung, ‘Duri’ Dalam Sistem Otonomi Daerah

Pemilukada langsung memang bukan sistem yang sempurna, tetapi pergantian sistem bukan solusinya.

RZK
Bacaan 2 Menit
Suasana pemungutan suara dalam pemilukada. Foto: SGP (ilustrasi)
Suasana pemungutan suara dalam pemilukada. Foto: SGP (ilustrasi)
Tahun ini, tepatnya 25 April 2014 akan diperingati Hari Otonomi Daerah yang ke-18. Memasuki usia ke-18, pelaksanaan otonomi daerah (otda) di Indonesia nyatanya masih diselimuti masalah. Salah satu masalah itu adalah pemilihan kepala daerah (pemilukada), baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota.

Sejarahnya, pemilukada di Indonesia sempat berganti-ganti sistem. Apabila dirunut dari zaman kolonial, seorang kepala daerah masa itu mulai dari gubernur, residen, bupati, wedana dan camat menduduki kursi jabatannya berdasarkan mekanisme pengangkatan atau penunjukkan oleh penguasa kolonial. Mekanisme model seperti ini berlaku baik itu saat Indonesia dijajah Belanda maupun Jepang.

Setelah lepas dari belenggu penjajahan, cara-cara yang diterapkan penjajah tetap dilanggengkan oleh undang-undang. UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, mengatur bahwa kepala daerah provinsi (gubernur) diangkat oleh presiden dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  Provinsi.

Masih menurut Undang-undang yang sama, untuk kepala daerah kabupaten, diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten. Demikian juga untuk kepala daerah desa (kota kecil), diangkat oleh kepala daerah propinsi dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Desa (kota kecil).

Dua belas tahun setelah Republik ini merdeka, wacana pemilihan kepala daerah secara langsung mulai mengemuka seiring lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Tetapi, terkesan masih ‘malu-malu’ karena penyebutan pemilihan langsung hanya termaktub pada bagian penjelasan umum, bukan batang tubuh.

Periode-periode berikutnya, Indonesia masih berkutat pada sistem pemilihan kepala daerah di tangan penguasa pusat – presiden dan menteri dalam negeri- dengan sedikit kontribusi dari perwakilan daerah (DPRD) sebagai pengusul.

Seiring dengan runtuhnya Orde Baru di bawah kekuasaan (alm) Soeharto, perubahan sistem terjadi di segala sendi di Negeri ini, termasuk pemerintahan daerah. Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menimbulkan banyak perubahan pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Di era inilah sistem otda mulai resmi diterapkan di Indonesia, meskipun merujuk pada penetapan Hari Otonomi Daerah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1996, pelaksanaan otda dihitung sejak tahun 1995.

Perubahannya tidak hanya mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada masa-masa sebelumnya sangat ditentukan oleh pemerintah pusat. Lepas dari pengaruh pemerintah pusat, pelaksanaan pemilihan kepala daerah ternyata belum bebas dari masalah. DPRD selaku pemegang ‘kuasa’ baru pemilihan kepala daerah justru menjadi lingkaran korupsi.

Harapan muncul ketika UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999 lahir. Undang-undang yang diteken oleh Presiden Megawati Soekarnoputri itu merupakan tonggak berlakunya sistem pemilihan kepala daerah –yang kemudian lazim disebut pilkada atau pemilukada- secara langsung oleh rakyat. Mengingat fakta bahwa 63 pasal dari total 240 pasal mengatur tentang pemilukada langsung, terkesan sekali UU Nomor 32 Tahun 2004 dibuat khusus untuk memperkenalkan sistem pemilukada langsung.

Mencermati perjalanan sejarahnya, pemilukada langsung layak disebut sebagai sebuah sistem yang lahir dari ‘rahim’ otda. Semangat otonomi jelas mewarnai pemberlakuan pemilukada langsung di Indonesia. Bahwa, masyarakat di daerah adalah masyarakat yang otonom, yang tidak lagi bergantung dan patuh pada titah pemerintah pusat. Dengan memilih kepala daerah secara langsung, maka masyarakat di suatu daerah berkesempatan menentukan nasib daerahnya sendiri, tanpa campur tangan (pemerintah) pusat.

Bukan Sistem Sempurna
Lalu, apakah sistem pemilukada langsung adalah sistem yang sempurna? Di dunia ini memang tidak ada satu sistem yang benar-benar sempurna. Merujuk pada kenyataan di lapangan, pemilukada langsung pun jauh untuk dikatakan sempurna, walaupun oleh sebagian kalangan masih lebih baik dari sistem pemilihan era sebelumnya.

Berikut ini ragam masalah yang masih menyelimuti sistem pemilukada langsung di Indonesia berdasarkan pengamatan hukumonline. Pertama, pemilukada langsung menjadikan daerah sebagai ‘panggung konstestasi’ langsung dalam perebutan kursi kepemimpinan. Dibandingkan sistem sebelumnya, khususnya saat pemilihan kepala daerah masih di bawah kuasa pemerintah pusat, daerah hanya diposisikan sebagai penonton. Dalam sistem yang lama, praktis, daerah harus menerima hasil akhir apapun itu dari pusat.

Dengan pemilukada langsung, pertarungan benar-benar terjadi di daerah dimana pemilukada itu berlangsung. Kondisi seperti ini sebenarnya tidak akan menjadi masalah jika para kontestan mau bersaing secara sehat dan rela menghargai hasil akhir dari pemilukada langsung yang mereka ikuti.

Ceritanya menjadi lain jika ada satu atau bahkan dari satu kontestas yang tidak mau bersaing secara sehat dan tidak mau menerima kekalahan. Orang-orang seperti ini biasanya berprinsip “menghalalkan cara apapun untuk menang”. Ada yang bermain politik uang, mengerahkan massa, atau menggunakan sumber daya yang seharusnya tidak digunakan (khusus untuk incumbent) hanya demi menang pemilukada. Kondisi ini tidak jarang berujung pada terjadinya konflik-konflik horizontal.

Kedua,pemilukada langsung memunculkan banyak pemekaran wilayah. Dalam beberapa kasus, usulan pemekaran wilayah baik itu tingkat I maupun II dilandasi niat oknum-oknum tertentu yang semata ingin menjadi kepala daerah. Kondisi ini memang dimungkinkan terjadi karena regulasi mensyaratkan bahwa usulan pemekaran berdasarkan persetujuan bersama antara kepala daerah dan DPRD setempat(Pasal 4 PP Nomor78Tahun 2007).

Syarat tersebut rentan menjadi ladang ‘kesepakatan haram’ antara kepala daerah dan DPRD yang ujung-ujungnya adalah bagi-bagi kue kekuasaan antar elit politik di daerah. Pakar Otda yang juga mantan Menteri Otda, Ryas Rasyid pernah mengkritik ketentuan ini. Menurut dia, usulan pemekaran seharunya datang dari pusat agar dasar-dasar pertimbangannya lebih objektif.

Lambat laun, pemerintah dan DPR memang menyadari bahwa pemekaran sudah tidak terkendali dan cenderung berdampak negatif. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pernah membandingkan jumlah daerah di Indonesia antara periode 54 tahun (1945-1999) yakni hanya 319 daerah dengan periode 10 tahun otonomi daerah (1999-2009) yang memberi tambahan 205 daerah otonom baru (per tahun 2012). Ironisnya, sebagian besar daerah baru tersebut kinerjanya tidak baik.

Moratorium pemekaran pada akhirnya memang (sempat) terjadi, tetapi hanya sementara. Setelah itu, faktanya, DPR justru mencanangkan sejumlah RUU yang akan memberi jalan atas lahirnya 65 daerah otonomi baru. Bisa dibayangkan, akan ada sekitar 65 ajang pemilukada langsung yang berpotensi bermasalah jika sistemnya tidak kunjung diperbaiki.

Ketiga, pemilukada langsung sarat korupsi. Ironis memang peralihan sistem pemilukada dari tidak langsung menjadi langsung ternyata tidak cukup ampuh untuk meredam penyakit korupsi. Perbedaanya hanya terletak di modus dan siapa aktor yang terlibat. Jika dahulu ketika pemilukada masih di bawah kuasa DPRD, aktor korupsinya adalah para anggota dewan dan para kontestan yang bernafsu menduduki kursi kepala daerah, dan mungkin pengusaha yang menjadi cukong para calon kepala daerah.

Kini, setelah sistem berganti, aktornya tidak hanya berpidah tetapi juga semakin banyak. Contoh paling hangat adalah kasus yang tengah mendera eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar. Mantan Anggota DPR dari Partai Golkar ini menjadi pesakitan KPK gara-gara permainan penanganan sengketa pemilukada yang menjadi kewenangan MK. Akil didakwa menerima suap dengan cara mempermainkan sejumlah perkara pemilukada.

Berkaca dari kasus Akil seolah-olah terdapat ‘saluran’ bagi calon kepala daerah yang gagal di pemilukada tetapi tetap ingin keluar sebagai pemenang. Caranya, ya dengan mengajukan permohonan sengketa pemilukada di MK, lalu diatur sedemikian rupa oleh Akil sehingga kemenangan yang awalnya dikukukan Komisi Pemilihan Umum Daerah setempat dianulir. Dengan label final dan mengikat, putusan MK yang koruptif dapat ‘menyulap’ kemenangan milik si A menjadi milik si B, atau setidaknya digelar pemilukada ulang.

Dalam kasus Akil memang masih bisa diperdebatkan tentang siapa yang aktif dan siapa yang pasif melakukan perbuatan korupsi. Namun, apapun itu, sulit dibantah bahwa kasus seperti ini hanya dapat terjadi ketika ada kontestan gelap mata menghalalkan segala cara demi kursi kepala daerah. Dengan kata lain, kasus korupsi terkait pemilulkada tidak mungkin terjadi jika para kontestan menghormati prinsip-prinsip persaingan yang sehat dan fair, dan legowo mau menerima kekalahan.

Di luar tiga masalah di atas, tentunya masih banyak masalah yang menyelimuti pelaksanaan pemilukada langsung di Indonesia. Namun, seberapa banyak masalahnya, Bangsa Indonesia harus stop berpikir bahwa solusi atas setiap masalah adalah pergantian sistem, seperti yang selama ini terjadi. Pergantian sistem tidak melulu cocok dijadikan solusi atas suatu masalah.

Adakalanya, satu sistem yang sudah diyakini -dan setelah melalui proses pemikiran dan perjuangan yang begitu panjang- bagus memang harus dijalani. Masalah-masalah yang muncul kemudian dalam pemilukada langsung harus dipandang sebagai ujian demi mematangkan sistem agar tujuan hakikinya yakni mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat tetap dapat tercapai. Dan pemilukada langsung tidak lagi dianggap sebagai ‘duri’ dalam sistem otonomi daerah.
Tags:

Berita Terkait