Pemisahan Aturan Pemilu dan Pilkada Berdampak Pada Penegakan Hukum
Terbaru

Pemisahan Aturan Pemilu dan Pilkada Berdampak Pada Penegakan Hukum

Publik dan peserta pemilu kebingungan untuk memahami aturan main karena pengaturan pemilu dan pilkada dilakukan secara terpisah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini,  dalam diskusi bertema 'Masalah Hukum Pemilu, Konsep dan Analisis Kasus', Senin (15/2/2022). Foto: RES
Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, dalam diskusi bertema 'Masalah Hukum Pemilu, Konsep dan Analisis Kasus', Senin (15/2/2022). Foto: RES

Indonesia akan mengukir sejarah baru pada tahun 2024 karena kali pertama bakal menyelenggarakan pemilu serentak. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) yang rencanannya diselenggarakan 14 Februari 2024. Sementara Pemilihan kepala daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota) atau pilkada dihelat 27 November 2024.

Walaupun dilakukan secara serentak pada tahun 2024, Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, mengatakan pengaturan pemilu presiden dan wakil presiden serta legislatif berbeda dengan pilkada. Pemilu diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Untuk pilkada diatur UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU sebagaimana beberapa kali diubah terakhir melalui UU No.6 Tahun 2020. Menurut Titi, pengaturan yang terpisah antara pemilu dan pilkada ini akan berdampak pada penegakan hukum.

“Pengaturan terpisah antara pemilu dan pilkada akan menimbulkan persoalan dalam hal penanganan hukum,” kata Titi dalam diskusi bertema “Masalah Hukum Pemilu, Konsep dan Analisis Kasus”, Senin (15/2/2022).

(Baca Juga: Bawaslu RI Beberkan Jenis Pelanggaran Pemilu)

Titi memberikan contoh misalnya UU No.7 Tahun 2017 mengatur hasil dari penanganan pelanggaran administratif pemilu yang dilakukan Bawaslu, bentuknya putusan. Tapi dalam UU Pilkada keputusan Bawaslu terkait pelanggaran administrasi bisa dikaji dan dinilai kembali oleh KPU.

Perbedaan pengaturan mengenai persoalan yang sama itu, kata Titi, akan membingungkan masyarakat dan peserta pemilu/pilkada dalam memahami aturan main. Perbedaan aturan itu membuat prosedur dan hukum yang digunakan dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada juga berbeda.

Dia melihat mekanisme penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu yang ada saat ini bisa dilakukan dengan banyak cara, masing-masing lembaga seolah tidak bersinergi, sehingga memiliki pandangan masing-masing. Dampaknya penyelesaian menjadi berlarut-larut dan dapat memicu ketidakpastian hukum.

Titi berharap pemerintah dan DPR membenahi itu dengan cara mengatur pemilu dan pilkada dalam 1 UU. Lembaga yudikatif saat ini juga berdampak terhadap pelaksanaan UU Pemilu dan UU Pilkada. Misalnya, Putusan MK No.55 Tahun 2020 terkait pengujian UU No.7 Tahun 2020 yang antara lain menyebut partai politik yang sudah lolos dalam ambang batas parlemen pada pemilu sebelumnya tak perlu lagi mengikuti proses verifikasi faktual.

Menurutnya, hukum pemilu sangat penting karena jika pelanggaran dan kecurangan yang terjadi selama proses pemilu tidak dapat ditangani dengan baik, maka bisa berdampak pada rendahnya kualitas pemilu yang digelar. “Hukum pemilu penting karena muara dari semua tahapan pemilu. Tujuannya agar suara pemilih tetap terjaga kemurniannya,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait