Pemisahan Pemilu Serentak Butuh Tafsir MK
Berita

Pemisahan Pemilu Serentak Butuh Tafsir MK

Pemilu serentak miliki banyak keuntungan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Guru Besar HTN Universitas Andalas, Saldi Isra. Foto dalam acara Konferensi HTN di Sawahlunto, Sumatera Barat. Foto: Istimewa
Guru Besar HTN Universitas Andalas, Saldi Isra. Foto dalam acara Konferensi HTN di Sawahlunto, Sumatera Barat. Foto: Istimewa
Pengamat Hukum Tata Negara dari FH Universitas Andalas Padang, Saldi Isra, mengatakan jika gagasan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal serentak dianggap sebagai sistem yang ideal, harus ada pemikiran baru untuk menerobos putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemilu serentak dan Pasal 22E UUD 1945. Sebab, putusan MK hanya menentukan pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD secara serentak, tidak untuk pemilihan kepala daerah secara serentak.

Problemnya, kata Prof. Saldi, gagasan pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal terbentur putusan MK dan Pasal 22E UUD 1945 karena pemilu hanya untuk memilih presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Ia menyarankan ada interpretasi konstitusi. “MK memberi tafsir baru atas Pasal 22E UUD 1945,” kata Saldi saat berbicara dalam dalam sesi seminar Konferensi Nasional Hukum Tata Negara di Sawahlunto Sumatera Barat, Jum’at (30/5).

Saldi mengatakan permintaan tafsir atas Pasal 22E UUD 1945 pada dasarnya memohon MK menyatakan pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal secara serentak. Pemilu nasional untuk memilih presiden, DPR, dan DPD, sedangkan pemilu lokal untuk memilih kepala daerah, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

“Dalam teori ketatanegaraan, konstitusi tidak hanya diubah melalui teksnya saja, tetapi bisa juga diubah mekanisme kebiasaan ketatanegaraan atau putusan hakim. Jika dikabulkan, upaya  itu menjadi konstitusional,” katanya.

Sebelumnya dalam acara yang sama, mantan Ketua MK Jimly Assiddiqie dan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ramlan Surbakti melontarkan gagasan agar pemilu serentak dilakukan bertingkat dan terpisah. Artinya, pemilu nasional (pusat) serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR, dan DPD. Lalu, pemilu lokal (daerah) serentak untuk memilih gubernur, bupati/walikota, dan DPRD. Hal ini untuk menunjang pelaksanaan otonomi seluas-luasnya.        

Saldi sepakat dengan gagasan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal karena lebih sederhana jika dibandingkan konsep pemilu serentak menurut putusan MK. Dia beralasan pemisahan pemilu serentak dapat menumbuhkan proses demokrasi di tingkat daerah tanpa terpengaruh proses demokrasi di tingkat nasional. “Wacana publik akan menutup perkembangan yang terjadi di tingkat daerah. Tetapi, kalau pemilu serentak dipisah daerah memiliki waktu cukup memikirkan daerahnya, jauh lebih fokus,” katanya.                      

Meski begitu, menurutnya putusan MK yang mengamanatkan pemilu legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) secara serentak itu untuk menghindari “kawin paksa” dalam sistem politik diantara kandidat calon presiden, seperti dalam pasangan calon presiden Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta. Hal ini dampak dari adanya ketentuanpresidential threshold dalam Pasal 9 UU Pilpres.

“Parpol berupaya membangun koalisi karena tidak bisa memenuhi 20 persen atau 25 persen suara itu, sehingga terjadi ‘kawin paksa’ karena Prabowo tidak mirip dengan ideologi ekonominya Hatta Rajasa. Jokowi juga nggak mirip dengan ideologinya Jusuf Kalla,”  ungkapnya.         

Keuntungan
Di tempat yang sama, mantan anggota Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR Slamet Effendi Yusuf mengakui original intent saat pembahasan Pasal 22E UUD 1945 di PAH I BP MPR terkait kesepakatan pelaksanaan pemilu lima kotak (presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota) memiliki banyak keuntungan. Terutama, pemilu serentak memberi ruang demokrasi lebih luas karena semakin banyak calon pasangan presiden yang diusung partai peserta pemilu, sehingga presidential threshold tidak diperlukan.

“Pemilu serentak dapat menyederhanakan sistem kepartaian secara alamiah, sehingga kelak Pemilu 2019 dan pemilu berikutnya jumlah partai peserta pemilu jauh lebih sedikit,” paparnya.

Efek lainnya, lanjut Slamet, akan terjadi pengelompokan antarparpol (koalisi) yang memiliki ideologi dan visi yang sama sekaligus menghindari koalisi pragmatis dan transaksional (bagi-bagi kekuasaan).

“Ini menjadi embrio terjadinya penyederhanaan partai, sehingga dapat menciptakan pemerintahan yang efektif antara kedua lembaga. Karenanya, paket UU Pemilu mesti diubah dengan memasukkan gagasan yang berkembang dalam acara ini,” katanya.
Tags:

Berita Terkait