Penataan Ruang dalam UU Cipta Kerja Dinilai Sentralistik dan Minim Partisipasi
Utama

Penataan Ruang dalam UU Cipta Kerja Dinilai Sentralistik dan Minim Partisipasi

Minim memberi kewenangan pemerintah daerah untuk menata wilayahnya sendiri karena harus mengacu pada ketentuan yang diterbitkan pemerintah pusat. Prinsipnya, penataan ruang seharusnya melibatkan masyarakat.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi tata ruang. Hol
Ilustrasi tata ruang. Hol

Undang-Undang (UU) No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang merupakan salah satu UU yang terdampak dari UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebagian ketentuan UU No.26 Tahun 2007 diubah, dihapus, dan ditetapkan ketentuan haru melalui UU Cipta Kerja. Misalnya, UU Cipta Kerja mengubah Pasal 6 UU No.26 Tahun 2007, antara lain terkait penjelasan tentang penataan ruang wilayah secara berjenjang yakni dilakukan dengan cara tata ruang wilayah nasional dijadikan acuan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten/kota, dan RTRW provinsi menjadi acuan penyusunan RTRW kabupaten kota.

Kemudian perubahan Pasal 8 UU No.26 Tahun 2007 mengganti frasa “pemerintah” menjadi “pemerintah pusat.” Kemudian menghapus ketentuan Pasal 8 ayat (4) yang sebelumnya memberikan peluang pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional oleh pemerintah daerah melalui tugas dekonsentrasi dan/atau tugas perbantuan. Pasal 9 juga turut diubah dan menegaskan penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh pemerintah pusat.

Pengacara Publik LBH Jakarta, Charlie Albajili, menilai esensi penataan ruang oleh pemerintah idealnya untuk keadilan karena tidak semua golongan masyarakat mampu mendapatkan haknya terkait tata ruang. Misalnya, tempat tinggal yang layak, lingkungan yang bersih dan sehat. Oleh karena itu, penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah seharusnya dengan melibatkan masyarakat. Tapi praktiknya selama ini partisipasi masyarakat kerap diabaikan, sekalipun dilibatkan hanya sekedar formalitas.

Dia melihat penataan ruang yang dilakukan selama ini tak jarang “bertabrakan” dengan hak masyarakat, seperti masyarakat hukum adat. Menurut Charlie, hal ini terjadi karena proses penataan ruang tidak melibatkan masyarakat secara serius. “Masyarakat hukum adat sudah bertempat tinggal di wilayahnya jauh sebelum Indonesia merdeka, tapi kemudian digusur dengan alasan, antara lain tidak sesuai lagi dengan perencanaan tata ruang,” kata Charlie Albajili dalam diskusi secara daring yang diselenggarakan Klinik Hukumonline bertema “Buka-Bukaaan Pengaturan Penataan Ruang di Indonesia”, Jumat (9/4/2021) malam kemarin.

Menurut Charlie, penataan ruang yang minim melibatkan masyarakat berpotensi menimbulkan sengketa dan konflik lahan. Tak hanya itu, ada juga sengketa yang disebabkan karena pendaftaran tanah yang tidak sesuai prosedur, sehingga diduga terjadi maladministrasi dan korupsi. Mengutip laporan Ombudsman tahun 2018, Charlie menyebut kantor pertanahan merupakan salah satu lembaga yang paling banyak dilaporkan masyarakat ke Ombudsman.

Bagi Charlie, terbitnya UU Cipta Kerja mengubah perspektif penataan ruang menjadi lebih sentralistik ketimbang pengaturan UU No.26 Tahun 2007. Artinya, kewenangan pengaturan penataan ruang lebih banyak dipegang/dikuasai pemerintah pusat. Penataan ruang yang dilakukan pemerintah daerah harus mengikuti acuan yang ditetapkan pemerintah pusat.

Selain penataan ruang di darat, Charlie juga menyoroti perubahan UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melalui UU Cipta Kerja ini. Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sebelumnya merupakan kawasan publik melalui UU Cipta Kerja dibuka potensi untuk dapat diusahakan. Ketentuan itu dinilainya bertentangan dengan putusan MK No.3/PUU-VIII/2010 tentang uji materi terhadap UU No.27 Tahun 2007.

Meski begitu, dalam menyelesaikan sengketa tata ruang, Charlie berpendapat ada beberapa mekanisme penyelesaian yang dapat dilakukan, antara lain melalui Kementerian ATR/BPN dan bisa juga lapor ke Ombudsman. Tapi paling penting untuk menyelesaikan konflik dan sengketa yang terjadi terkait penataan ruang melalui program reforma agraria. Kendati pemerintah telah menerbitkan Perpres No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, tapi sampai sekarang beleid itu belum terlaksana dengan baik. 

“UU Cipta Kerja menimbulkan masalah baru, sangat menguntungkan bagi pengusaha, tapi merugikan masyarakat, seperti masyarakat hukum adat dan nelayan tradisional,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait