Pencabutan Perda Lewat Perpres, Simak Putusan MK Ini!
RUU Cipta Kerja:

Pencabutan Perda Lewat Perpres, Simak Putusan MK Ini!

Pasal 166 RUU Cipta Kerja dinilai bertentangan dengan Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015. Pembahasan RUU Cipta Kerja ini harus benar-benar dikawal agar jangan sampai kontraproduktif terhadap kepentingan rakyat yang lebih luas.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Pembangkangan terhadap konstitusi

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti Muhammad Imam Nasef menilai Pasal 166 RUU Cipta Kerja bentuk pembangkangan terhadap konstitusi karena memuat kembali pasal yang sebelumnya sudah pernah dibatalkan MK. Menurutnya, Pasal 166 RUU Cipta Kerja pun mengkonfirmasi penelitian 3 dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada 2019 yang menemukan dari 109 putusan MK yang diteliti terdapat 25 putusan MK (22,01) persen tidak dipatuhi pemangku kepentingan.  

 

“Sudah sangat jelas ditentukan pembatalan perda hanya dapat dilakukan oleh MA melalui mekanisme hak uji materiil (HUM),” ujar Muhammad Imam Nasef kepada Hukumonline di Jakarta, Rabu (19/2/2020).

 

Dia meyayangkan penyusunan RUU Cipta Kerja itu tak mengindahkan putusan MK. Padahal,  selama ini pemerintah seringkali mengingatkan rakyat untuk selalu tunduk dan patuh terhadap Pancasila dan UUD 1945. “Ini bisa dipahami apabila pemerintah pusat memiliki keinginan agar bisa ‘cawe-cawe’ soal perda, padahal desain konstitusional otonomi daerah dibangun dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata dia.

 

“Fungsi kontrol pemerintah pusat sudah diatur sedemikian rupa dengan memberi kewenangan pemerintah pusat melalui gubernur melakukan executive preview terhadap rancangan perda. Karena itu, pembahasan RUU Cipta Kerja ini harus benar-benar dikawal agar jangan sampai kontraproduktif terhadap kepentingan rakyat yang lebih luas,” ajaknya.

 

Anggota Komisi II DPR Sodik Mudjahid menilai Pasal 166 RUU Cipta Kerja terkait pencabutan perda melalui perpres jika bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat potensi membuka ruang presiden bersikap arogan, bahkan otoriter. Sebagai kepala negara, presiden semestinya menjaga sistem hukum ketatanegaraan termasuk sistem hierarki penyusunan peraturan perundang-undangan.

 

Sodik memahami akan kebutuhan pemerintah terhadap RUU Cipta Kerja melalui metode omnibus law, menyederhanakan regulasi demi kemudahan berusaha dan investasi demi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, dia mengingatkan pemerintah pun mesti taat aturan dan tidak mengurangi fungsi legislasi DPR dan DPRD.

 

“Kita berharap para pemangku kepentingan dan masyarakat mengawal pembahasan RUU Cipta Kerja di parlemen,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen.

 

Politisi Partai Gerindra itu berjanji bakal mengkritisi ketentuan pasal-pasal yang dinilai janggal dalam draf RUU Cipta Kerja saat pembahasan. Seperti, soal dugaan melanggar hierarki peraturan perundang-undangan yang berujung melemahkan sistem demokrasi dan ketatanegaraan.

Tags:

Berita Terkait