Peneliti PSHK Bedah Putusan Uji Formil Dan Materil UU KPK
Utama

Peneliti PSHK Bedah Putusan Uji Formil Dan Materil UU KPK

Moralitas hukum perlu ketika membuat putusan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Peneliti PSHK Bedah Putusan Uji Formil Dan Materil UU KPK
Hukumonline

Sejumlah kalangan mengkritisi putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019 yang mengabulkan sebagian uji materi UU KPK, dan putusan MK No. 79/PUU-XVII/2019 yang menolak uji formil UU KPK. Ada yang menilai kedua putusan ini menimbulkan kekecewaan publik. Hal ini tidak terlepas dari peran MK yang tidak/kurang sensitif, atau bahkan tidak peduli terhadap aspirasi publik atas sinyal kuat pelemahan KPK. Akibatnya, substansi putusan MK terkait pengujian UU KPK ini dinilai kurang cermat dan mengandung kekeliruan baik dari sisi formil maupun material.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Agil Oktaryal, mengatakan dalam putusan kedua Putusan MK ini dalam pertimbangannya sangat meruntuhkan wibawa MK dan mandat konstitusional MK. “Putusan MK pengujian formil dan materil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi adalah putusan yang tidak memiliki kadar konstitusionalitas dan gagal menyelamatkan KPK dari keterpurukan yang semakin jauh serta semakin melemahkan KPK,” kata Agil dalam Live IG Hukumonline bertajuk “Membedah Putusan Pengujian UU KPK dan Nasib Pemberantasan Korupsi” Sabtu, (08/05).

Dalam putusan pengujian formil UU KPK Putusan No. 79/PUU-XVII/2019, Agil berpendapat ada beberapa kekeliruan. Pertama, Agil mengatakan hakim diduga keliru ketika menyatakan tidak terjadi penyelundupan hukum dalam revisi UU KPK. Hal itu memperlihatkan hakim tidak dengan rinci melihat fakta yang dibentangkan dalam permohonan.

Kedua, kata dia, hakim diduga keliru kala menyatakan naskah akademik (NA) revisi UU KPK tidak fiktif. Apalagi klaim itu didasarkan hanya kepada KBBI yang secara kata menyebut fiktif itu “fiksi” atau tidak berwujud. Sementara NA revisi UU KPK ada wujudnya. “MK terlalu gegabah untuk melakukan penafsiran ini,” kata dia.

Ketiga, kekeliruan hakim kala menyebut revisi UU KPK telah partisipatif dan menyerap aspirasi publik karena telah dilakukan seminar di sebagian kecil kampus di Indonesia pada tahun 2017. “Tetapi, hakim MK gagal menjelaskan bagaimana aspirasi yang disampaikan saat seminar terlaksana. Hakim MK tidak melihat hasil apa yang disuarakan dalam forum itu, apakah terjadi penolakan atau tidak? Dan siapa saja yang menjadi pembicaranya? Apakah di sana ada mahasiswa?” kata dia.

Keempat, hakim diduga keliru ketika menyebut demonstrasi yang masif di hampir seluruh penjuru Indonesia adalah sebagai bentuk kebebasan menyatakan pendapat saja. Hakim abai dalam memaknai penolakan publik merupakan bagian dari partisipasi dalam proses legislasi dan tidak ada hubungannya dengan aspek formil pembentukan undang-undang.

“Seharusnya hakim paham gelombang penolakan publik sampai ada yang luka-luka kulminasi diabaikannya proses partisipasi publik oleh DPR dan Pemerintah selama pembahasan revisi KPK berlangsung. Tapi menurut MK hanya sebagai kebebasan menyatakan pendapat. Hakim MK kali ini tidak menunjukkan sebagai guardian of the Constitution,” kata dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait