Putusan Pengujian UU KPK, Matinya Keadilan Prosedural
Terbaru

Putusan Pengujian UU KPK, Matinya Keadilan Prosedural

Dirancang sejak tahunan lalu dengan rangkaian peristiwa. Puncak eksekusi rencana pelemahan sejak 2019 hingga 2021. Presiden dianggap menjadi salah satu sutradara pembuat skenario pelemahan KPK, puncaknya ditolaknya pengujian uji formil UU KPK ini.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ketua Majelis MK Anwar Usman didampingi sejumlah hakim konstitusi saat membacakan putusan pengujian UU KPK di ruang sidang MK, Selasa (4/5/2021). Foto: RES
Ketua Majelis MK Anwar Usman didampingi sejumlah hakim konstitusi saat membacakan putusan pengujian UU KPK di ruang sidang MK, Selasa (4/5/2021). Foto: RES

Hantaman keras terhadap lembaga pemberantasan korupsi nampaknya bakal terus berlanjut. Setelah revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), upaya judicial review secara formil pun kandas di tangan 8 hakim konstitusi, meskipun terdapat satu hakim disenting opinion. Kekalahan terus dialami gerakan masyarakat anti korupsi. 

“Seperti senjakala KPK,” ujar peneliti hukum Indonesia Corruptioan Watch (ICW), Kurnia Ramadhana dalam sebuah diskusi secara virtual bertajuk Akhir Kisah Komisi Pemberantasan Korupsi”, Kamis (6/5/2021). (Baca Juga: PSHK: Putusan MK Gagal Membuat KPK Bangkit)

Menurutnya terdapat sejumlah peran dalam pelemahan KPK. Pertama, presiden. Dia menilai Presiden Joko Widodo menjadi salah satu sutradara pembuat skenario pelemahan terhadap KPK. Upaya pelemahan dimulai sejak 2019 saat Presiden membuat Panitia Seleksi (Pansel). Presiden, memiliki kewenangan lebih besar ketimbang DPR dalam penentuan pimpinan KPK. Dia menilai presiden memiliki permasalahan dengan tidak melibatkan partisipasi publik sebelum menyodorkan nama-nama calon pimpinan KPK ke DPR. Sebaliknya Presiden malah mengiyakan apapun hasil Pansel.

Dalam proses revisi UU 30/2002. Dia menilai Presiden tak mengindahkan atau menghargai proses demokrasi. Sebab, pada saat itu terjadi aksi demonstrasi yang berujung 5 orang meregang nyawa. Ironisnya, oleh presiden peristiwa ini tak dimaknai sebagai kegentingan. Selain itu, kajian terhadpa revisi UU KPK kerapkali disampaikan oleh Kampus, ahli, dan masyarakat sipil. Namun tak dipertimbangkan presiden.

Dia menilai presiden memang tak menandatangani revisi UU 30/2002 setelah disahkan menjadi UU, seolah-olah tak setuju. Namun bila tak setuju semestinya presiden melakukan perbaikan. Nyatanya, hingga dua tahun berjalan tak ada political will memperbaikinya. ”Berarti dia tidak menandatangani sekedar gimmick saja supaya istana tidak diserang,” ujarnya.

Memang sempat terdapat para tokoh dan akademisi menemui presiden di istana. Presiden menjanjikan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Sontak saja menjadi angin segar, setelah gelombang aksi demonstrasi turun ke beberapa hari. Sayangnya, kata Kurnia, presiden lebih manut mendengar para ketua umum (Ketum) partai politik yang mengancam bakal melakukan tindakan politik. Lagi-lagi, presiden mengindahkan aspirasi masyarakat.

Hal lainnya, kata Kurnia, adanya disorientasi kebijakan pemberantasan korupsi yang kerap dinarasikan presiden yakni soal pencegahan. Terdapat banyak kebijakan presiden mengarah pencegahan dan meniadakan penindakan. Padahal, pencegahan mesti beriringan dengan penindakan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait