MK dalam putusannya memiliki keyakinan cukup terkait penetapan pengesahan RUU menjadi UU. Menjadi pertanyaan, kata Prof Susi, MK mempertimbangkan DPR, tapi tidak mempertimbangkan pemohon. Akibatnya, MK dinilai tidak proporsional. Selain itu, menurutnya, MK tak mampu membuktikan perubahan UU KPK berada di satu rantai berkesinambungan. “Tapi saya apresiasi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang memiliki pendirian tegas.”
Mati bersamaan
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar berpandangan pengujian formil UU 19/2019 menunjukan adanya dua lembaga yang “mati bersamaan” yakni KPK dan MK. Menurutnya, MK terlihat betul tidak berada pada khittahnya sebagai lembaga pemutus secara hukum. “Main politiknya ketinggian,” ujarnya.
Zainal sedari awal menduga terbitnya putusan tersebut. Dia beralasan dengan komposisi hakim yang ada, menjadi mustahil bakal mengabulkan uji formil UU 19/2019. Menurutnya, melacak putusan-putusan MK belakangan terakhir, MK tak berkutik ketika berhadapan dengan kepentingan politik. Tak ada satupun putusan MK dapat pernah berhadapan dengan kepentingan politik secara gagah.
Pria biasa disapa Ucheng itu menduga dari awal MK dalam menangani uji formil UU 19/2019 hanya mencari jalan tengah tanpa berani memutus secara gagah. “Putusan kemarin hanya mengafirmasi saja. Putusan itu menjadi bukti MK berantakan. Ternyata, kali ini MK membuat seburuk-buruknya putusan formil karena mencari alasan pembenar,” katanya.