Penetapan Ketua Pengadilan 'Setengah Hati'
Berita

Penetapan Ketua Pengadilan 'Setengah Hati'

Rumah tempat kejadian perkara KDRT ditetapkan sebagai rumah aman.

Inu
Bacaan 2 Menit
Kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Foto: Sgp
Kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Foto: Sgp

Mungkin penetapan majelis hakim Pengadilan Negeri Bekasi ini menjadi hal baru dalam upaya perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Juga hal baru bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melaksanakan amanat UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Hal baru, karena pengadilan memperkuat peran LPSK dalam melindungi korban melalui penetapan majelis hakim. Hal ini seperti termuat dalam penetapan majelis hakim yang menangani perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan korban Tuti Mujiarti.

Sebelumnya, sebagai terdakwa KDRT, Tuti oleh majelis hakim pada 31 Mei 2012 ditetapkan sebagai tahanan rumah. Penetapan itu tertulis dalam surat penetapan majelis hakim yang menangani dakwaan Tuti, dengan nomor surat No: 406/Pen.Pid.B/2012/PN.Bks pada 31 Mei 2012.

Tuti pun menjadi tahanan rumah tempat KDRT berlangsung. Hal ini mengundang protes LBH APIK dan LPSK, karena status Tuti telah menjadi terlindung lembaga itu.

“Penetapan ini aneh, locus delicti jadi tahanan rumah terdakwa dengan korban,” kata Rinto Tri Hasworo dari LBH APIK, kuasa hukum Tuti di kantor LPSK, Selasa (19/6).

Karena itu, sehari kemudian, LBH APIK, berkirim surat permohonan kepada Ketua PN Bekasi Moh Eka Kartika. Isi surat permohonan adalah meminta agar Ketua PN Bekasi menetapkan Tuti mendapat perlindungan sebagai korban. Surat itu dilandasi Pasal 28 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Ketua PN, menurut pasal itu, diberi waktu tujuh hari sejak permohonan diterima untuk dijawab.

Gayung pun bersambut. Permohonan dikabulkan. Hanya saja penetapan Ketua PN Bekasi nomor 01/Pen.Perl.K/Pid.B/2012/PN.Bks dinilai setengah hati oleh LBH APIK maupun LPSK. “Isinya tidak menganulir penetapan majelis hakim karena nanti dinilai intervensi,” ujar Tasman Gultom, anggota LPSK bidang perlindungan.

Tasman menguraikan isi penetapan, yaitu pemohon berhak dilindungi dan mendapat perlindungan rumah aman. Kemudian berhak mendapat pendampingan hukum dan psikologi.

Hal yang menggembirakan buat LPSK adalah, dalam lembaga itu diberi wewenang memberikan perlindungan kepada pemohon. Meskipun, status pemohon adalah tahanan rumah. LPSK juga ditetapkan sebagai lembaga yang memberi perlindungan. “Satu sisi, pengadilan mempertajam peran LPSK dalam proses peradilan pidana,” kata Tasman.

Menurut Rinto, penetapan ini tak berarti apa-apa. Pada sisi lain, rumah aman yang dimaksud dalam penetapan Ketua PN Bekasi adalah rumah dimana Tuti ditempatkan sebagai tahanan rumah.

Apalagi, dalam pertimbangan penetapan itu, Ketua PN Bekasi menulis, rumah yang dijadikan tempat tahanan rumah adalah tempat dia dan suami tinggal. Sehingga tahanan aman di rumah sendiri.

Sedangkan rumah aman menurut penjelasan Pasal 22 ayat (1) huruf c adalah tempat tinggal sementara yang digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap korban sesuai dengan standar tertentu. Seperti trauma center di Departemen Sosial.

Rinto menyatakan, dalam penetapan itu, seharusnya Ketua PN tak perlu mengubah status Tuti sebagai tahanan. Tetapi, Tuti tak ditahan di rumah.

Karena itu, setelah penetapan ini, LPSK atau penuntut umum sekalipun diharamkan untuk mengeluarkan Tuti dari rumah dimana dia tinggal sekarang sebagai tahanan rumah. Tak lain dan tak bukan adalah rumah milik suami, Djoko Sulistiyono Nugroho.

Namun demikian, LPSK yang diberi wewenang untuk memberikan perlindungan tak akan putus asa. Lembaga itu bersama kuasa hukum Tuti akan mengupayakan berbagai cara yang tidak keluar dari ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku.

Tags:

Berita Terkait