Pengajuan PKPU Tak Hambat Usaha Debitor
Berita

Pengajuan PKPU Tak Hambat Usaha Debitor

DPR menganggap pasal-pasal terkait PKPU ditujukan agar proses PKPU dapat tercapai.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pengajuan PKPU Tak Hambat Usaha Debitor
Hukumonline
Pemerintah menegaskan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ke pengadilan tidak mengurangi kewajiban debitor membayar utangnya. Sebab, pengajuan PKPU ditujukan untuk mencari jalan membayar utang debitor tanpa menghentikan jalannya perusahaan debitor seperti diatur dalam Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

“Dalil pemohon yang menganggap Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU tidak memiliki kepastian hukum keliru. Justru, dengan pasal itu utang debitor akan dapat dibayarkan tanpa harus menutup perusahaan debitor, kreditor dapat menagihkan piutang seluruhnya,” kata Plt Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM dalam sidang lanjutan pengujian UU Kepailitan dan PKPU di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (20/2).

Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan menyebutkan, “Kecuali telah ditetapkan tanggal yang lebih awal oleh Pengadilan berdasarkan permintaan pengurus, semua sita yang telah diletakkan gugur dan dalam hal Debitor disandera, Debitor harus dilepaskan segera setelah diucapkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap atau setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, dan atas permintaan pengurus atau Hakim Pengawas, jika masih diperlukan, Pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas benda yang termasuk harta Debitor.”

Mualimin menegaskan PKPU dapat diminta baik debitor maupun kreditor ketika debitor - dalam waktu yang cukup melalui putusan Pengadilan Niaga - dapat melunasi utang-utangnya di kemudian hari tanpa harus menutup perusahaan. Dengan PKPU, piutang kreditor dapat dibayar penuh oleh debitor.

Dalam jangka waktu itu kreditor dan debitor menyepakati cara-cara pembayaran utang dengan menawarkan rencana perdamaian terhadap seluruh atau sebagian utangnya. Permohonan PKPU oleh debitor ini dilakukan sebelum permohonan pernyataan pailit yang diajukan pihak lain. Ada kalanya PKPU ini diajukan bersamaan dengan permohonan pernyataan pailit. “Jika bersamaan, PKPU harus diputus lebih dulu,” katanya.

Dia menjelaskan apabila batas waktu yang telah ditentukan Pasal 228 ayat (6) UU Kepailitan, yakni rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor gagal atau tidak disetujui kreditor, maka debitor dinyatakan pailit. Dengan demikian, anggapan terhadap Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU merugikan hak konstitusional pemohon tidak berdasar. Justru, ketentuan itu memungkinkan kelangsungan usaha debitor.

“Dengan keberlangsungan usaha, memberi waktu bagi debitor melunasi utang kepada kreditor secara keseluruhan berdasarkan rencana perdamaian yang disepakati dalam PKPU,” jelasnya.     

Tidak gugurkan sita
Dalam pendapatnya, DPR menyatakan Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan tidak serta merta menggugurkan semua sita yang diletakkan tanpa memperhatikan proses atau upaya hukum yang sedang berjalan di pengadilan.

“Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan memberi persyaratan atau kondisi, yakni ‘Kecualitelah ditetapkan tanggal lebih awal oleh pengadilan berdasarkan permintaan pengurus..’. Tetapi, mekanisme PKPU tak berusaha mengabaikan adanya keputusan lembaga peradilan jika telah ada keputusan yang mengikat,” kata anggota Komisi III DPR Ruhut Poltak Sitompul.

Ruhut menegaskan pasal-pasal terkait PKPU ditujukan agar proses PKPU dapat tercapai. Dengan keringanan yang diberikan, debitor dalam waktu tidak terlalu lama untuk mendapat penghasilan yang akan cukup, dapat melunasi semua utang-utangnya.

“PKPU diberikan hanya saat debitur benar-benar sudah tidak mampu yang harus dibuktikan dengan putusan pengadilan, yang menyatakan penerimaan PKPU sementara (45 hari),” kata Ruhut.   

Pengujian UU Kepailitan dan PKPU ini dimohonkan oleh Legal Manager PT Daya Radar Utama, Muhammad Idris. Pemohon berkeberatan dengan Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan karena dianggap melanggar hak konstitusional Pemohon sebagai perwakilan badan hukum privat.

Pemohon mendalilkan Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan tidak mencerminkan asas kepastian hukum karena menggugurkan sita yang telah dilaksanakan terlebih dahulu kurang lebih dua tahun sebelum pelaksanaan perusahaan dalam PKPU.

Pemohon merasa tidak memperoleh haknya karena dibatasi dan dihalangi oleh pasal tersebut, yang secara limitatif memberi kewenangan kepada hakim pengawas dan pengurus PKPU mencabut penetapan sita jaminan yang telah dilaksanakan Pengadilan Negeri terlebih dahulu kurang lebih dua tahun sebelum pelaksanaan perusahaan dalam PKPU.
Tags:

Berita Terkait