Pengamanan di Pengadilan Kembali Dipertanyakan
Berita

Pengamanan di Pengadilan Kembali Dipertanyakan

Aktivis yang memantau sidang pembunuhan Munir diserang dan dipukul. Awal bulan ini, seorang advokat ditodong pistol oleh oknum TNI yang sedang berperkara di PN Bantul.

Mys
Bacaan 2 Menit
Pengamanan di Pengadilan Kembali Dipertanyakan
Hukumonline

 

Kepala Divisi Advokasi Kebijakan LBH Jakarta, Taufik Basari, meminta aparat kepolisian mengusut tuntas penyerangan tersebut, termasuk memproses orang-orang yang berada di balik penyerangan itu. Penyerangan dan tindak kekerasan itu merupakan pelanggaran Deklarasi HAM, ujar Basari dalam pernyataan persnya.

 

Kekerasan serupa terjadi di Pengadilan Negeri Bantul Yogyakarta, awal November lalu. Usai sidang, seorang oknum TNI mengacungkan pistol ke arah Agus Suhardjono, seorang anggota Ikadin. Saat itu, Agus dalam kapasitas sebagai advokat yang mendampingi seorang terdakwa kasus membawa lari perempuan. Nah, anggota TNI tadi adalah orang tua di gadis yang dilarikan terdakwa. Usai sidang sekitar pukul 14.30, di halaman PN Bantul saya diacungi pistol dari jarak sekitar 10 meter, ujar Agus, sebagaimana diberitakan Suara Karya. 

 

Nur Ismanto, Ketua DPC Ikadin Yogya menyayangkan mengapa oknum TNI itu sampai lolos membawa senjata api ke pengadilan. Hal itu tidak seharusnya terjadi jika ada pemeriksaan ketat terhadap pengunjung ruang sidang. Itu sebabnya Ikadin melayangkan surat meminta Mahkamah Agung mengefektifkan pengamanan di persidangan dari kemungkinan terjadinya tindak kriminal.

 

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. September lalu, seorang hakim Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo menjadi korban oleh tindak kekerasan pihak yang berperkara. Sang hakim yang bermaksud melerai pertikaian suami-istri mengenai harta gono gini malah ditikam oleh si suami. Sang isteri pun akhirnya meninggal karena mengalami kekerasan yang sama. Ironisnya, penikaman berlangsung di ruang sidang. Tetapi lebih ironis lagi, yang melakukan tindak kriminal itu adalah seorang perwira menengah TNI Angkatan Laut.

 

Kekerasan di pengadilan bukan hanya dilakukan karena alasan kepentingannya terancam, tetapi juga akibat perbedaan ideologi. Para penyerang tidak bisa menerima langkah advokat membela kasus tertentu yang mungkin sensitif. Tengoklah pengalaman buruk yang dialami beberapa pengacara LBH Jakarta saat membela korban stigma PKI di PN Jakarta Pusat. Para korban yang rata-rata berusia sepuh menggugat Pemerintah secara class action 

 

Dalam persidangan 3 Agustus 2005, tiga orang pengacara LBH terpaksa menyelamatkan diri karena diuber-uber sekelompok pengunjung sidang. Uli Parulian, M. Gatot dan Rini, ketiga pengacara tadi, dikejar tidak lama setelah majelis hakim pimpinan Cicut Sutiyarso meninggalkan ruang sidang. Uli, Gatot dan Rini berusaha menyelamatkan diri ke lantai tiga. Namun terus diuber.

 

Para penyerang yang meneriakkan yel-yel anti komunis (PKI), menyisir ruang-ruang pengadilan. Beruntung, aparat kepolisian bisa mengamankan ketiga advokat dari amukan massa penyerang.

Kasus demi kasus terus terjadi, pengamanan di pengadilan tidak banyak berubah. Acapkali kekerasan terjadi baik di ruang sidang maupun setelah sidang bubar. Lantas, apakah petugas keamanan pengadilan hanya bertanggung jawab selama proses persidangan berlangsung, atau selama para pihak berada di lokasi pengadilan.

 

Aksi kekerasan terakhir terjadi Kamis (17/11) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Aktivis yang selama ini memantau persidangan kasus pembunuhan Munir mendapat serangan. Ada yang dipukul usai sidang yang mengagendakan keterangan saksi Mayjend Purn. Muchdi PR, mantan Deputi V Bidang Penggalangan BIN. Istri Munir, Suciwati, sempat didorong dengan kekerasan. Ironisnya, aparat keamanan seperti tidak bisa berbuat banyak. 

Tags: