Pengenaan PPN Sembako Berpotensi Digugat
Utama

Pengenaan PPN Sembako Berpotensi Digugat

Karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat 4 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya terkait dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan dan menjaga keseimbangan kesatuan ekonomi nasional.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Wakil Ketua MPR yang juga Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani. Foto: RES
Wakil Ketua MPR yang juga Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani. Foto: RES

Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani mempertanyakan rencana pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan pokok dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan karena berpotensi melanggar sila kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

"Konstitusionalitas kebijakan tersebut terbuka untuk dipersoalkan jika nantinya benar-benar masuk dalam UU KUP (Ketentuan Umum Perpajakan)," kata Arsul yang juga Anggota Komisi III yang membidangi masalah hukum di DPR.

Dia menilai kebijakan tersebut terbuka untuk digugat dengan argumentasi bertentangan dengan Pasal 33 ayat 4 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya terkait dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan dan menjaga keseimbangan kesatuan ekonomi nasional. (Baca: Beragam Risiko Negatif dari Pajak Sembako)

Arsul mengingatkan, beberapa waktu lalu Pemerintah telah melakukan relaksasi kebijakan perpajakan dengan meminimalkan pengenaan pajak pertambahan nilai atas barang mewah (PPN-BM) terhadap mobil dengan kategori tertentu.

"Padahal yang diuntungkan terhadap kebijakan ini hanya sebagian rakyat Indonesia saja, khususnya mereka yang berstatus kelas menengah ke atas yang memiliki kemampuan dan daya beli atas mobil yang mendapatkan keringanan PPN-BM. Ini artinya Pemerintah rela kehilangan salah satu sumber pendapatan fiskalnya," ujarnya.

Namun menurut dia, kalau kemudian untuk menutup kehilangan sumber fiskal tersebut Pemerintah menggantinya dengan menambah beban pajak pada barang kebutuhan pokok yang menjadi hajat hidup seluruh rakyat, maka sisi keadilan sosial-nya bagi seluruh rakyat Indonesia patut dipertanyakan.

Politisi PPP itu mengatakan, selain sisi keadilan sosial, maka dari sisi konstitusi, kebijakan memberikan keringanan PPN pada sektor tertentu yang bukan merupakan hajat seluruh rakyat dan mengganti kehilangan sumber fiskalnya dengan mengenakan PPN pada sektor yang justru merupakan hajat hidup seluruh rakyat bisa dipandang sebagai bertentangan dengan norma konstitusi.

"Norma konstitusi tentang prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan serta keharusan menjaga keseimbangan kesatuan ekonomi nasional," katanya.

Karena itu, dia mengingatkan Pemerintah khususnya Kementerian Keuangan untuk benar-benar melakukan kajian dari sisi dasar dan ideologi bernegara serta konstitusi negara. Arsul juga mengingatkan semua pihak mencerminkan Pancasila dalam sikap pemerintahan yang nyata dengan tidak membuat kebijakan atau perundangan yang menabrak Pancasila dan konstitusi.

Penjelasan Menkeu

Seperti diketahui, beberapa hari belakangan publik dikejutkan dengan isu pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembilan bahan pokok (sembako), termasuk beras. Rencana revisi PPN ini sudah digaungkan oleh pemerintah sejak beberapa bulan lalu, namun menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, draf Revisi Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) baru dikirimkan ke DPR.

Atas isu yang berkembang, Sri Mulyani menegaskan pemerintah saat ini masih tetap fokus untuk memulihkan ekonomi. Sehingga ia sangat menyayangkan adanya kegaduhan di tengah masyarakat mengenai isu sembako akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Di-blow up seolah-olah tidak memerhatikan situasi sekarang. Kita betul-betul menggunakan instrument APBN karena memang tujuan kita pemulihan ekonomi dari sisi demand side dan supply side,” katanya dalam Raker bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Kamis, (11/6).

Sri Mulyani menjelaskan draf Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) baru dikirimkan kepada pihak DPR RI namun belum dibahas, sehingga sangat disayangkan uncul kegaduhan mengenai isu pengenaan PPN untuk sembako.

Terlebih lagi, menurut Sri Mulyani draf RUU KUP tersebut bocor dan tersebar ke publik dengan aspek-aspek yang terpotong dan tidak secara utuh sehingga menyebabkan kondisi menjadi kikuk. “Situasinya menjadi agak kikuk karena ternyata kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga. Yang keluar sepotong-sepotong,” ujarnya.

Meski demikian, ia menuturkan pemerintah masih belum bisa menjelaskan secara detail mengenai isu ini karena dari sisi etika politik memang belum ada pembahasan dengan DPR RI. “Dari sisi etika politik, kami belum bisa menjelaskan sebelum ini dibahas. Karena ini adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui surat Presiden,” tegasnya.

Ia menjelaskan RUU KUP dibacakan terlebih dahulu dalam sidang paripurna yang kemudian akan dibahas bersama Komisi XI DPR RI terkait seluruh aspeknya mulai dari waktu hingga target pengenaan pajak.

“Itu semua kita bawakan dan akan kita presentasikan secara lengkap by sector, by pelaku ekonomi, kenapa kita menurunkan pasal itu, backrgound-nya seperti apa. Itu semua nanti kami ingin membahas secara penuh dengan Komisi XI,” jelasnya.

Sri Mulyani pun memastikan saat ini pemerintah masih terus memetakan dampak-dampak pandemi Covid-19 terhadap masyarakat termasuk para pengusaha UMKM. “Sampai hari ini kita juga sudah diminta memikirkan UMKM yang bangkitnya lebih lambat. Jadi fokus kita adalah memulihkan ekonomi,” katanya.

Hal tersebut sejalan dengan kesepakatan pemerintah untuk menyehatkan kembali APBN dengan tetap menjaga momentum pemulihan seiring dengan pembangunan pondasi ekonomi dan perpajakan agar tetap kuat ke depannya.

“Tentu saya juga meminta maaf karena pasti semua dari Komisi XI sebagai partner kami kenapa ada policy seolah-olah itu sudah naik padahal tidak,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait