Pengendara Jasa Transportasi Berbasis Aplikasi Tak Masuk UU Ketenagakerjaan
Berita

Pengendara Jasa Transportasi Berbasis Aplikasi Tak Masuk UU Ketenagakerjaan

Lantaran hubungan hukum melakukan perkerjaannya berdasarkan kemitraan, sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan hanya mengakui hubungan hukum pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja.

FAT
Bacaan 2 Menit
Para pengendara Go-Jek. Foto: RES.
Para pengendara Go-Jek. Foto: RES.

[Versi Bahasa Inggris]

Selama beberapa hari terakhir, Hall A Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, diramaikan dengan ribuan orang yang ingin mendaftar sebagai pengendara Go-Jek. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan baru khususnya hubungan kerja antar perusahaan dengan pengendara jasa transportasi berbasis aplikasi atau online tersebut dengan pengendara.

Selain Go-Jek, masih banyak lagi perusahaan penyedia transportasi lainnya yang mengandalkan teknologi canggih, seperti GrabBike, Uber Taxi, Easy Taxi maupun Grab Taxi. Salah satu pengendara Go-Jek, Wawan (nama samaran) menjelaskan bahwa, kontrak kerja dirinya dengan perusahaan Go-Jek tertera sebagai kemitraan.

“Oleh (perusahaan) Go-Jek itu kita disebutnya sebagai mitra,” kata Wawan kepada hukumonline, Selasa (18/8).

Dalam kontrak, lanjut pria berusia 37 tahun itu, tak ada klausul yang menjelaskan mengenai jangka waktu dirinya bekerja. Sedangkan Wawan sendiri harus rela ditahan ijazahnya. Selain ijasah, ada beberapa surat berharga pengendara yang bisa ditahan oleh perusahaan selama tergabung dengan Go-Jek, seperti surat nikah ataupun Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).

Meski begitu, ia bersyukur bisa menjadi pengendara Go-Jek. Alasannya karena semenjak bergabung dengan Go-Jek, pendapatannya meningkat drastis. “(Meningkat, red) Jauh banget, bisa lima sampai enam kali lipat pendapatan saya dibandingkan saya mangkal (ojek konvensional, red),” kata Wawan yang mengaku menjadi tukang ojek konvensional selama 11 tahun itu.

Wawan mengaku, hingga kini belum ada asuransi kesehatan ataupun jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) bagi dirinya. Namun jika dirinya atau sanak keluarga ada yang sakit, bisa diklaim ke perusahaan. Ia berharap, ke depan perusahaan Go-Jek bisa memberikan Jamsostek bagi para pengendara.

“Pengharapan saya pribadi, saya intinya kita dianggap karyawan. Kalau yang namanya perusahaan, Go-Jek itu sudah perusahaan dong, kita cuma minta didengar saja supaya Go-Jek itu mengeluarkan yang namanya Jamsostek,” katanya.

Pakar Hukum Ketenagakerjaan, Umar Kasim menjelaskan, dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) tak mencakup mengenai hubungan hukum melakukan perkerjaan berdasarkan kemitraan. Dalam UU tersebut, yang diakui hanya hubungan hukum melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja.

“UU Ketenagakerjaan (UU 13/2003) itu tidak mencakup tenaga kerja yang di luar hubungan kerja, jadi hanya tenaga kerja yang dalam hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja,” kata Umar.

Berbeda, lanjut Umar, UU Ketenagakerjaan yang lama yakni UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Kerja cakupannya justru lebih luas. Bahkan setidaknya terdapat tujuh hubungan hukum dalam melakukan pekerjaan. “Hubungan hukum melakukan pekerjaan, ada berdasarkan kemitraan tadi, ada berdasarkan perjanjian jasa-jasa, ada berdasarkan letter of appoinment, perjanjian kerja, perjanjian pemborongan, ada tujuh macam hubungan hukum melakukan pekerjaan itu,” katanya.

Sedangkan menurut UU 13/2003, pekerja dengan hubungan hukum pekerjaan berdasarkan kemitraan tak harus tunduk pada ketentuan waktu kerja, tak tunduk pada ketentuan istirahat cuti, tak tunduk berapa hari kerja dalam seminggu dan tak tunduk sakit berupah. Walau tak tercakup dalam UU 13/2003, pekerja berdasarkan kemitraan tersebut masih bisa menuntut Jamsostek atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan kepada perusahaan.

“Bisa saja, tetapi bukan berdasarkan UU, tapi kalau UU BPJS mencakup dia, otomatis. Tapi untuk asuransi komersial tidak tunduk pada UU Ketenagakerjaan, tapi pada perjanjian keperdataan murni. Bahwa ada tawar menawar, permintaan, agree,” katanya.

Ia menuturkan, banyak perbedaan hubungan hukum melakukan pekerjaan berdasarkan kemitraan dengan perjanjian kerja. Misalnya, dari sisi tanggung jawab di antara kedua hubungan tersebut. Jika dalam hubungan hukum pekerjaan berdasarkan kemitraan tanggung jawab ada pada diri pribadi pekerja. “Misal motor rusak, itu pribadi, bukan perusahaan, bukan alat produksi perusahaan,” katanya.

Sebaliknya, jika hubungan hukum pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja, tanggung jawab rusaknya motor tersebut berada pada perusahaan. Contoh lainnya dari sisi hak kekayaan intelektual yang muncul saat bekerja. Dalam hubungan hukum pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja misalnya, selama bekerja di sebuah perusahaan otomotif, orang tersebut menemukan produk untuk mengirit bensin. Penemuan tersebut bukan penemuan pribadi walau orang itu sudah bekerja lama, melainkan penemuan bagi institusi.

“Kalau kemitraan tidak, itu penemuan pribadi, si mitra, misal tukang ojek menemukan solusi baru kemudian membuat paten itu hak pribadi, bukan hak perusahaan,” tutup Umar.

Tags:

Berita Terkait