Pengesahan UU IKN Potensi ‘Digugat’ ke MK
Utama

Pengesahan UU IKN Potensi ‘Digugat’ ke MK

Proses legislasi yang tidak baik ini menyebabkan rendahnya legitimasi UU IKN. Pansus mengklaim bekerja dengan konsentrasi tinggi, bahkan masa reses pun digunakan melakukan pembahasan RUU IKN.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Mantan Dirjen Otda Kemendagri juga khawatir, rakyat malah bakal marah dengan dipaksakannya pemindahan ibu kota negara dalam waktu dekat. Apalagi memasuki tahun politik dan pemilu yang berujung menimbulkan gejolak sosial serta ketidakstabilan pemerintahan ataupun politik. Karena itu, dia menyampaikan keprihatinannya terhadap pemerintah yang terkesan memaksakan pemindahan ibu kota dalam waktu cepat. Termasuk cepatnya pembuatan regulasi sebagai upaya menjustifikasi rencana pemindahan ibu kota negara ini.

Praktik pembahasan dan pengesahan RUU menjadi UU secara maraton memang sering dilakukan pembentuk UU dalam beberapa tahun terakhir. Mulai Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU; Revisi UU No.23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi UU No.7 Tahun 2020; dan RUU tentang Cipta Kerja menjadi UU No.11 Tahun 2020. “Lalu ini mau ‘dimainkan’ (dipraktikan, red) di UU IKN. Jadi ini sebetulnya tidak masuk akal,” ujarnya.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Muhammad Nur Sholikin menilai cepatnya pembahasan dan pengesahan RUU IKN menjadi UU berimbas pada ketepatan materi atau substansi pokok yang diatur dalam UU IKN tersebut. Seperti minimnya pengaturan tentang batasan kewenangan, persyaratan Kepala dan Wakil Otorita, pengaturan susunan organisasi atau perangkat Otorita, pengawasan kepada Otorita.

“Kemudian pengaturan tentang pelayanan kepada masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, hubungan dengan pemerintahan daerah lainnya, pengelolaan anggaran, dan materi lainnya,” kata Muhammad Nur Sholikin.

Dia melihat sebagian besar materi penting justru didelegasikan pengaturannya ke dalam bentuk Perpres tanpa ada materi acuan pengaturan yang jelas dalam bagi Perpres nantinya. Hal ini menunjukkan kecenderungan adanya negosiasi DPR dan pemerintah memberikan “cek kosong” bagi pemerintah, dalam hal ini presiden.

Baginya, substansi atau materi muatan dalam UU IKN tersebut memiliki banyak pertentangan dengan konsep maupun prinsip dasar penyelenggaraan negara dalam UUD Tahun 1945. Kondisi ini sebagai bukti ketergesaan pembahasan, minim partisipasi, membatasi ruang argumentasi publik telah menyebabkan rendahnya kualitas produk legislasi yang dihasilkan.

Dalam konteks pengaturan ibu kota negara tentu ini memiliki risiko yang sangat besar karena menjadi simbol negara. Bahkan, sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan yang akan menjadi center of gravity Indonesia. “Proses legislasi yang tidak baik ini juga menyebabkan rendahnya legitimasi UU IKN yang baru saja dihasilkan oleh DPR dan pemerintah,” katanya.

Tags:

Berita Terkait