Pengusaha Persoalkan Aturan Hilirisasi Mineral
Utama

Pengusaha Persoalkan Aturan Hilirisasi Mineral

Permen Peningkatan Nilai Tambah Mineral dinilai tidak sejalan dengan UU Minerba.

Fitri Novia Heriani/Yoz
Bacaan 2 Menit
Permen Peningkatan Nilai Tambah Mineral dinilai tidak sejalan dengan UU Minerba. Foto: SGP
Permen Peningkatan Nilai Tambah Mineral dinilai tidak sejalan dengan UU Minerba. Foto: SGP

Para pengusaha pertambangan mempersoalkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral yang terbit pada 6 Februari lalu. Mereka menilai ada beberapa pasal yang berpotensi mematikan industri pertambangan, terutama pertambangan kelas menengah ke bawah.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik, Natsir Mansyur, mengatakan Menteri ESDM Jero Wacik sebaiknya merevisi Pasal 21 Permen ESDM No 7 Tahun 2012. Menurutnya, negara akan mengalami potential lost sebesar 20 persen atau AS$46 miliar, dari target ekspor yang ditetapkan tahun ini sebesar AS$230 miliar.

Pasal 21 menyatakan, pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, pemegang IUP Operasi Produksi dan IPR yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dilarang untuk menjual bijih (
raw material atau ore) mineral ke luar negeri dalam jangka waktu paling lambat tiga bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.

“Ini artinya ekspor barang setengah jadi beberapa hasil tambang kita tidak bisa diekspor dan hal ini bisa mengganggu target ekspor yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” kata Natsir, Selasa (6/3), di Jakarta.

Dijelaskan Natsir, pada dasarnya Kadin mendukung peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral sehingga hilirisasi minerba di Indonesia bisa segera terealisasi. Namun, perlu diperhatikan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), di mana ekspor hasil komoditas bisa dilakukan sampai 2014.

“Dengan demikian, terjadi kontradiksi antara kedua peraturan perundang-undangan tersebut,” tandas mantan anggota DPR ini.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Riset dan Teknologi, Bambang Sujagad menambahkan seharusnya pemerintah melakukan proteksi terhadap perusahaan pertambangan yang menghasilkan devisa cukup besar bagi negara dan memiliki karyawan hingga ratusan orang.

Bambang menilai munculnya Permen ini merupakan gambaran belum selarasnya antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Perindustrian, sehingga dperlukan alternatif usulan peraturan yang baru. Menurutnya, kepastian hukum sangat penting sebagai upaya menarik investor ke Indonesia.

“Permen ini tidak memberikan kepastian hukum bagi pengusaha daerah yang sebelumnya diatur dalam UU Minerba,” tuturnya.

Terpisah, Kepala Biro Hukum Perundang-undangan Kementerian ESDM, Fadli Ibrahim, menjelaskan Pasal 21 dibuat berdasarkan data ekspor bijih ke luar negeri yang mengalami peningkatan 800 kali lipat sejak adanya UU Minerba. Dia mengatakan, aturan ini merupakan masukan dari Kementerian Perdagangan.

Fadli menyayangkan Bupati selaku pejabat yang memiliki wewenang untuk menerbitkan Izin Usaha pertambangan (IUP), tidak bisa mengingatkan pelaku usaha pertambangan mengenai kewajibannya yang tertuang di Pasal 95 huruf c, Pasal 102, Pasal 103 ayat (1) serta Pasal 170 dalam UU Minerba.  

“Hasil tambang merupakan SDA yang tidak dapat diperbaharui dan setelah Permen ini berlaku pada 7 Mei 2012,  maka seluruh ekspor hasil tambang bijih akan dihentikan,” tegasnya.

Fadli juga memperkirakan Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 yang mengatur soal pengolahan dan pemurnian akan dipersoalkan pengusaha tambang. Namun, ia memastikan hal itu bisa diatasi melalui kerjasama dengan perusahaan tambang yang lebih besar, seperti yang diamanatkan dalam UU Minerba.

Sementara itu, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM, Edy Prasodjo, mengakui Pasal 21 merupakan pasal
shock therapy bagi pengusaha tambang. Dia mengatakan, pasal itu dibuat berdasarkan keterbatasan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada. Permen ini juga dibuat atas dasar komitmen antara Kementerian ESDM dengan kementerian terkait lainnya, terutama Kementerian Perdagangan.

“Kebijakan tidak akan memuaskan semua pihak, pasti akan ada yang terkena dampaknya,” kata Edy diplomatis.

Pengusaha tetap keberatan dengan kehadiran Permen ini. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia Syahrir AB, mengatakan Permen ini sulit untuk diimplementasikan, mengingat secara hierarki Permen tidak termasuk ke dalam peraturan perundang-undangan yang harus dijalankan.

Dia menyarankan, sebaiknya Pemen itu diubah menjadi Peraturan Pemerintah (PP) agar setiap pejabat daerah tidak memiliki celah untuk mengelak dari peraturan tersebut. “Sebenarnya roh dari Permen ini sudah baik, hanya saja tidak melihat kepada keadaan yang ada,” pungkas Syahrir.

Tags: