Penindakan Tipikor Mesti Perhatikan Pendekatan Administratif
Berita

Penindakan Tipikor Mesti Perhatikan Pendekatan Administratif

Kelanjutan permohonan akan ditentukan dalam RPH.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Pemohon, Heru Widodo (kanan). Foto: Humas MK
Kuasa Hukum Pemohon, Heru Widodo (kanan). Foto: Humas MK
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang panel perbaikan uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam perbaikannya, para Pemohon yang sebagian berstatus sebagai terdakwa dan terpidana korupsi ini berharap penindakan tipikor perlu memperhatikan pendekatan administratif.

“Pendekatan penindakan tipikor harusnya sebagai ultimum remedium (upaya terakhir) bagi aparat penegak hukum,” ujar Kuasa Hukum Pemohon, Heru Widodo saat menyampaikan perbaikan permohonan dalam sidang pengujian UU Pemberantasan Tipikor di ruang sidang MK, Selasa (05/4).

Lewat tim kuasa hukumnya, Firdaus, Yulius Nawawi, Imam Mardi Nugroho, HA Hasdullah, Sudarno Eddi, Jamaludin Masuku, dan Jempin Marbun mempersoalkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Mereka meminta MK membatalkan kata “dapat” dan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” di dua pasal itu. Sebab, kata dan frasa itu dinilai multitafsir, ambigu dan tidak pasti dalam penerapannya dan potensial disalahgunakan aparat penegak hukum.

Widodo menilai sejak terbitnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) telah mengubah cara pandang penindakan korupsi, sekaligus lebih memperhatikan pendekatan penyelesaian hukum administrasi. Karena itu, adanya kesalahan (karena sengaja atau lalai) administratif yang mengakibatkan kerugian negara yang selama ini dikenai tipikor mesti ditinjau kembali seperti ditegaskan Pasal 20, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 80 UU Administrasi Pemerintahan.

“Kesalahan administratif seharusnya melalui prosedur penyelesaian administratif terlebih dahulu, tidak melulu langsung pendekatan tindak pidana (korupsi),” kata Heru Widodo dalam persidangan. “Jadi, aparatur sipil negara (ASN) yang diduga melanggar peraturan administrasi karena kelalaian atau tidak patut baru menjadi delik korupsi setelah melalui tahapan penyelesaian hukum administrasi,” sambungnya.

Dijelaskan Widodo, implikasi Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 telah mengkualifikasi korupsi sebagai delik formil, sehingga unsur merugikan keuangan negara/perekonomian bukan unsur esensial (mutlak). “Tak jarang, unsur kerugian negara tersebut baru dihitung setelah penetapan tersangka korupsi. Ini akibat pemaknaan unsur ‘kerugian negara/perekonomian negara’ dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tidak harus nyata terjadi seperti termuat dalam Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006,” bebernya.

Pemaknaan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi Para Pemohon. Dalam tataran praktis, adanya kata “dapat” menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi setiap orang yang sedang menduduki jabatan dalam pemerintahan. Soalnya, setiap tindakannya mengeluarkan keputusan atau tindakan dalam jabatannya selalu dalam ancaman delik korupsi.

Menurutnya, perubahan paradigma ini berimplikasi pada pemaknaan yang dapat dipidana tipikor adalah setiap orang yang secara materil melakukan perbuatan korupsi dan merugikan negara/perekonomian negara secara nyata. Karena itu, kata dia, setiap penyidikan/penuntutan perkara korupsi tidak cukup “berbekal” kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang diartikan sebagai “potensi kerugian negara”, melainkan harus mengantongi bukti kerugian negara/perekonomian negara secara nyata.

“Bukan orang yang dianggap melakukan tipikor karena jabatannya, tetapi karena adanya kejahatan (niat jahat). Ini apabila permohonan ini dikabulkan,” kata dia.

“Bagian petitum kami tetap yakni menyatakan kata “dapat” dan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Ketua Majelis Panel Maria Farida Indrati mengingatkan permohonan ini akan disampaikan dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH). “Bagaimana nanti kelanjutan permohonan ini, apakah Anda akan dipanggil untuk sidang (pleno) atau bagaimana, nanti kita tentukan kemudian,” kata Maria.
Tags:

Berita Terkait