Pentingnya Bahasa dalam Pembentukan Regulasi dan Penegakan Hukum
Terbaru

Pentingnya Bahasa dalam Pembentukan Regulasi dan Penegakan Hukum

Karena persoalan bahasa hukum kerap menimbulkan persoalan dalam pembentukan regulasi dan praktik penegakan hukum. Diusulkan perlu ada lembaga khusus yang intensif untuk membangun dan mengembangkan bahasa Indonesia hukum.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'Kata-Kata dalam Hukum: Menilik Aspek Bahasa dalam Pembentukan Regulasi dan Penegakan Hukum', Selasa (7/12/21). Foto: AID
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'Kata-Kata dalam Hukum: Menilik Aspek Bahasa dalam Pembentukan Regulasi dan Penegakan Hukum', Selasa (7/12/21). Foto: AID

Dunia hukum, terlebih pada ranah hukum publik, tak terlepas dari peran vital bahasa. Kebijakan hukum, mulai dari proses pembentukan peraturan hingga efektivitas tataran implementasi dipengaruhi oleh bahasa baik bahasa yang digunakan pembentuknya maupun pelaksana kebijakan. Dengan bahasa tujuan kebijakan, arah kebijakan, dan politik hukum, suatu pemerintahan dapat diketahui dan dipahami.

Ketua STH Indonesia Jentera, Arief T Surowidjojo mengatakan bahasa hukum mengalami transformasi besar-besaran, terlebih sebagian dunia hukum masih menggunakan bahasa Belanda yang juga masih berlaku menjadi pedoman. Misalnya, pengaruh bahasa Belanda cukup kental dengan bahasa hukum dalam proses legislasi dan penegakkan hukum di Indonesia. Seperti UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, UU Investasi.

Menurutnya, pengaruh konsep bahasa asing juga mempengaruhi bisnis, seperti dalam hukum perjanjian, pengaruh bahasa asing masih sangat kental, karena menerjemahkan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia. Demikian pula dalam proses legislasi yang menghasilkan produk hukum tertulis berupa peraturan dan penegakkan hukum penting menggunakan bahasa yang tepat.

“Penempatan bahasa atau kata-kata bisa saja merusak demokrasi, tetapi seharusnya dalam penyampaian bahasa dan kata-kata diwujudkan untuk demokrasi itu,” ujar Arief T Surowidjojo saat membuka webinar bertajuk “Kata-Kata dalam Hukum: Menilik Aspek Bahasa dalam Pembentukan Regulasi dan Penegakan Hukum” yang digelar PSHK, STH Indonesia Jentera, Forum Kajian Pembangunan, Selasa (7/12/21).

Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, Zulfa Sakhiyya mengatakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa yang paling berhasil. Namun dalam perkembangannya lebih merealisasikan aktivitas politik daripada linguistik. Bahasa Indonesia merupakan produk rekayasa pembangunan dan tidak berasal dari bahasa ibu siapapun.

“Bahasa baru bisa dibina dan dikembangkan serta digunakan dengan baik dan bahasa adalah salah satu cara untuk mendominasikan kesadaraan publik,” kata dia.

Ia menjelaskan perbedaan linguistik umum dan linguistik forensik. Linguistik forensik cabang dari linguistik umum. Dari data-data yang bisa ditelusuri atau melalui proses forensik menurut pakar, linguistik forensik bisa untuk mengidentifikasi delik-delik, seperti hate speech, pencemaran nama baik.  

Dosen Bahasa Indonesia STH Indonesia Jentera, Anwari Natari mengutip Prof. Mardjono Reksodiputro bahwa bahasa adalah yang utama. Menurutnya, bahasa hukum harus bermakna tunggal karena berkonsekuensi pada kualitas kepastian hukum dan produk hukum. “Seperti UU ITE yang lentur sekali bahasanya (multitafsir, red). Bukan seperti karya sastra yang pemaknaannya diserahkan sepenuhnya kepada publik.”  

Perlu lembaga khusus

Setiap produk hukum semestinya tidak berlawanan satu sama lain dari segi bahasa, misalnya antara UU ITE dengan KUHP. Bahasa Indonesia dengan bahasa hukum tentu terdapat beberapa perbedaan. Misalnya pencemaran nama baik saja berbeda antara bahasa hukum dan yang ada di KBBI. Dia mengusulkan perlu ada lembaga khusus yang intensif untuk membangun dan mengembangkan bahasa Indonesia hukum.

“Untuk itu, literasi bahasa Indonesia hukum juga harus menjadi mata kuliah wajib bagi para penegak hukum karena menyangkut hidup manusia,” sarannya.  

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia periode 2017-2021, Asfinawati mencontohkan ada universitas yang kredibel menilai bahwa Presiden adalah simbol negara, tapi UU-nya tidak menyatakan seperti begitu. Lalu, istilah hate speech, menjadi alat sebagai pelindung korban dan mulai ada pembajakan dari istilah hate speech. Dimulai dari Surat Edaran Polri tentang Hate Speech, yang menyebutkan hate speech adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong, padahal perbuatannya berbeda-beda.

Tetapi polisi membuat tujuh tindakan menjadi satu kolom. Nah, sebenarnya hate speech atau siar kebencian dalam konvenan hak sipil dan politik adalah segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, rasa atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum. Lalu, mengingatkan prinsip hukum seperti lex certa, lex scripta, les strita.

Menurutnya, hukum bukan hanya norma, tetapi juga makna. Dia bisa bergulir, berulang, dan bisa berbeda. Misalnya dalam kasus Basuki T Purnama (Ahok) dalam kasus penistaan agama. Menurutnya, kata penistaan lebih bermakna keras daripada penodaan. Karena itu, penistaan dipakai untuk memperjelas penodaan yang tidak ada dalam KUHP. Contoh lainnya, di Orde Baru, ada kata diamankan yang artinya ditangkap.

“Padahal, kalau aman yah aman saja. Bahasa tidak pernah netral, karena bahasa memihak,” kata Asfinawati.  

Dosen Ilmu Perundang-undangan STH Indonesia Jentera, Rival Ahmad mengatakan ada beberapa problem penting antara hukum dan bahasa. Kalau bahasa sebagai konteks yang sesuai yang diharapkan, tetapi juga ada yang hilang dalam pengaruh praktik di Indonesia. Misalnya, berlakunya UU Cipta Kerja. UU ini padahal untuk investor, tetapi dikatakan sebagai lapangan pekerjaan untuk pekerja. “Artinya ada yang hilang dan tidak diungkapkan secara lagsung disini,” kata Rival.  

Dalam konteks bahasa hukum Indonesia, ada pasal-pasal, tetapi dalam praktiknya ada rahasia dan ada yang disembunyikan dan nanti ada yang akan disembunyikan. Dia melihat bila bicara soal bahasa dan kalimat, hukum bukan hanya soal penafsiran teks, tetapi bagaimana melihat dalam praktek politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Jadi, bisa melihat apa yang dipraktikkan dalam penafsiran, bisa dilihat dalam konteks yang ditampilkan.

Rival menambahkan dalam banyak sistem hukum, sebagian besar melakukan satu bahasa sebagai bahasa negara dalam dokumen hukumnya. Tetapi dalam perkembangan di banyak negara sudah terbiasa membuat dokumen dengan banyak bahasa. “Bahasa resminya banyak. Jadi buat saja setiap dokumen hukum mempunyai tujuan bisa digunakan oleh penggunanya secara efektif.”

Tags:

Berita Terkait