Pentingnya Memperkuat Fungsi Pengawasan KASN dalam Revisi UU ASN
Terbaru

Pentingnya Memperkuat Fungsi Pengawasan KASN dalam Revisi UU ASN

Formasi komisioner KASN perlu diisi sosok yang memiliki visi gerakan pembaharuan birokrasi yang independen bebas dari campur tangan kepentingan politik dan profesional. Diperlukan kerja sama dan sinergitas dengan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah perlu ditingkatkan sesuai kewenangan masing-masing.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

“Seperti di Dukcapil (kependudukan dan catatan sipil,red) melakukan inovasi-inovasi out of the box. Jadi birokrasi itu bisa dikuatkan, faktornya antara lain kepemimpinan yang kuat,” lanjutnya.

Ketua Umum (Ketum) DPN Korpri, Prof Zudan Arif Fakrulloh mengatakan melalui revisi UU 5/2014 nantinya terdapat lembaga yang melindungi karier ASN. Lembaga ini sangat dirindukan para ASN agar ada kejelasan pengawasan jenjang karier ASN. Bentuknya pun diserahkan kepada pembuat UU.

Seperti halnya, Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) sekaligus menjabat Kepala Komisi Kepegawaian Negara sebagaimana model dalam UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pasal 13 ayat (5) menyebutkan, “Ketua dan Sekretaris Komisi Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), secara ex officio menjabat sebagai Kepala dan Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara”.

Dalam praktiknya, KASN belum memiliki “gigi” yang kuat ketika memberi sanksi terhadap adanya kepala daerah yang melanggar sistem merit. Prof Zudan mengusulkan perlu merancang sebuah sistem apakah memperkuat Kemenpan RB, BKN atau KASN. Namun, lembaga yang memiliki beragam kewenangan dalam pengawasan ASN ini tetap berada di cabang kekuasaan eksekutif. “Kalau ada pelanggaran karier, pemerintah pusat langsung bisa memberi sanksi ke daerah.”

Bebas intervensi politik

Lebih lanjut pria yang juga menjabat Direktur Jenderal (Dirjen) Dukcapil Kementerian Dalam Negeri ini berpendapat revisi UU 5/2014 harus mampu memperbaiki ekosistem birokrasi yang bebas dari beragam intervensi politik. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi dalam setiap pesta demokrasi kerap ditarik-tarik ke ranah politik praktis.

Dia melihat para ASN menginginkan bekerja secara profesional tanpa ditarik-tarik ke politik praktis terutama saat pesta demokrasi nasional maupun lokal. “Boleh dibilang terjadi ‘kriminalisasi’ terhadap birokrasi akibat tekanan politik. Saya pernah jadi Pelaksana Jabatan (PJ) Gubernur Gorontalo, terasa betul ASN di sana terbelah,” kata dia.

Menurutnya, karier ASN di daerah bergantung dari “ritual pesta demokrasi” atau pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang berlangsung setiap lima tahunan. Sebab praktiknya, kerapkali terjadi pencopotan jabatan ASN seiring pergantian kepala daerah terpilih. Karena itu, politisasi birokrasi menjadi persoalan yang harus segera diatasi dalam revisi UU ASN ini. Dengan begitu, nantinya diharapkan tata kelola penempatan jabatan ASN menjadi lebih baik dan profesional.

Dia menyarankan agar segera dirancang gagasan membentuk birokrasi yang independen dan otonom agar ASN dapat menjaga netralitasnya. Diharapkan birokrasi nantinya secara bertahap dapat dipisahkan dengan political appointee. “Ritual lima tahunan pilkada itu menyebabkan denyut nadi birokrasi jadi terganggu, yang seharusnya profesional dan berkarir tenang, tapi terganggu,” katanya.

Sementara Wakil Ketua Komisi II Syamsurizal berpendapat, politisasi birokrasi pasca pilkada memang mengganggu jalannya roda pemerintahan di daerah, netralis ASN, dan penghambat penerapan sistem merit yang berorientasi pada profesionalitas ASN. “Sistem meritokrasi tidak boleh ditinggalkan untuk mendapatkan pegawai yang profesional, dengan memperhatikan ASN yang terbaik, itu yang diangkat. Tapi ini terganggu dengan pilkada (calon kepala daerah) melakukan politisasi birokrasi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait