Pentingnya Pembuktian Unsur Pidana dalam Menjerat Penyebar Hoaks
Berita

Pentingnya Pembuktian Unsur Pidana dalam Menjerat Penyebar Hoaks

​​​​​​​Antara lain apakah informasi yang disampaikan itu menimbulkan permusuhan dan kebencian di masyarakat, atau tanpa hak untuk menyebarkan informasi itu.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran, Yesmi Anwar, mengatakan, harus ditelusuri lebih jauh lagi untuk menilai apakah suatu perbuatan itu tergolong pidana atau tidak. Misalnya, apakah perbuatan yang dilakukan itu memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam UU. Dalam kasus kebohongan publik, ini berlaku untuk orang yang memiliki jabatan publik.

 

Untuk pihak yang tidak menyandang jabatan publik, harus diukur apakah kebohongan yang dilakukan itu sampai mengganggu ketertiban umum? “Menurut saya ukurannya harus jelas untuk menentukan apakah seseorang melakukan tindak pidana atau tidak,” urai Yesmi.

 

Mengenai laporan yang dilakukan terhadap Ratna dkk, Yesmi mengatakan, itu boleh saja karena prinsipnya aparat kepolisian menerima semua laporan masyarakat. Tapi dalam prosesnya nanti aparat akan memilah apakah laporan itu bisa ditingkatkan atau tidak untuk berlanjut prosesnya dari penyelidikan, penyidikan sampai pengadilan. “Intinya belum bisa dibilang Ratna melakukan pidana atau belum karena harus ditelusuri dulu lebih lanjut,” tegasnya.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting, menjelaskan pasal 28 ayat (2) UU ITE menyebut setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Dalam kasus ini, sebelum mengaku berbohong, Ratna telah konsisten mengungkapkan penganiayaan yang dialaminya baik kepada media dan pihak lain.

 

“Konsistensi itu yang dalam pidana disebut ada intention atau niat untuk menyebarkan informasi yang tidak benar. Perlu di lihat lagi apakah dalam informasi itu adakah unsur menimbulkan kebencian atau permusuhan di kalangan masyarakat,” papar mantan calon pimpinan KPK itu.

Selain itu Jamin menyoroti frasa ‘setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi.’ Menurutnya, frasa itu menyangkut eksistensi apakah orang tersebut berwenang atau tidak menyebarkan informasi yang bersangkutan. Frasa ini menurutnya ‘aneh’ karena sifatnya pribadi dan berpotensi menyulitkan penyidik untuk menelusurinya.

Staf Pengajar STHI Jentera, Miko Ginting, berpendapat kasus ini masuk dalam delik penyebaran berita bohong, menyesatkan, dan tidak lengkap. Tapi perlu diingat, perbuatan ini harus menimbulkan akibat yakni menyebabkan terjadinya keonaran. Ketentuan ini diatur dalam pasal 14 dan 15 UU No.1 Tahun 1946. “Yang menentukan terjadi keonaran atau tidak itu penuntut umum di persidangan dan diputus hakim,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait