Penyelenggara Jamsos Swasta Perlu Diwadahi
Berita

Penyelenggara Jamsos Swasta Perlu Diwadahi

Swasta bisa memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ali Safaat ahli yang dihadirkan pihak pemohon saat menyampaikan keahliannya dalam sidang perkara pengujian UU BPJS, Selasa (10/2). Foto: Humas MK
Ali Safaat ahli yang dihadirkan pihak pemohon saat menyampaikan keahliannya dalam sidang perkara pengujian UU BPJS, Selasa (10/2). Foto: Humas MK
Dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Brawijaya Muchamad Ali Safa’at menilai kepesertaan wajib dalam program jaminan sosial (jamsos) merupakan hak setiap warga negara dan kewajiban negara untuk memenuhinya. Namun, kewajiban negara ini dimungkinkan kalau semua warga negara menjadi peserta jamsos.

“Persoalannya, apakah pelaksana jamsos ini harus BPJS?” ujar Ali Safa’at saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU BPJS di ruang sidang MK, Selasa (10/2). 

Menurut Safa’at, mengukur konstitusionalitas kelembagaan dan sistem pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tidak melulu menggunakan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Namun, bisa menggunakan pasal-pasal lain dalam UUD 1945 sesuai peristiwa atau kasus dalam pelaksanaan sistem BPJS ini. “Ini tentu tidak hanya bisa diuji dengan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, tetapi bisa dengan pasal-pasal lain,” tegasnya.

Salah satu hal yang dipersoalkan dalam pengujian UU BPJS ini adalah peran serta dan partisipasi aktif perusahaan swasta yang menyelenggarakan program jamsos yang sudah dilaksanakan sebelum terbentuknya BPJS. Menurut Safa’at, berdasarkan putusan MK, sistem jamsos yang dikembangkan harus mencakup seluruh rakyat Indonesia. Swasta dan masyarakat bisa memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan.

Menurutnya, adanya peran Badan Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Bapel JPKM) atau penyelenggara jamsos perusahaan ini lebih menjamin kebutuhan pelaksanaan jamsos khususnya masyarakat lemah, maka lembaga jamsos swasta perlu diwadahi. “Ketika peran lembaga ini ditolak, berarti itu tidak sesuai amanat konstitusi yang mencita-citakan adanya jamsos yang mencakup seluruh rakyat Indonesia,” dalihnya.

“Jadi, kepesertaaan jamsos seharusnya tidak hanya di BPJS, tidak lalu menjadi satu-satunya lembaga jamsos dari mulai menentukan aturan dan melaksanakan.”

Terkait adanya sanksi administratif bagi pemberi kerja termasuk warga negara, Ali Safa’at menilai hal ini cukup fatal. Sebab, jamsos bagi warga negara adalah hak, dan kewajiban negara memenuhinya. Jika ia merupakan hak, maka tak pantas ada sanksi. “Logika sederhananya, jika ada warga negara tidak ikut program jamsos, seharusnya yang punya kewajiban itu yang dijatuhi sanksi,” katanya.

Sebelumnya, para pemohon yakni PT Papan Nirwana, PT Cahaya Medika Health Care, PT Ramamuza Bhakti Husada dan PT Abdiwaluyo Mitrasejahtera (perusahaan asuransi), serta Sarju dan Imron Sarbini mempersoalkan 6 pasal dalam UU BPJS. Ketentuan yang disasar yaitu Pasal 15 ayat (1); Pasal 16 ayat (1) dan (2), Pasal 17 ayat (1) dan (2) huruf c, (4); dan Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU BPJS terkait kewajiban memilih BPJS.

Para pemohon menganggap kewajiban mendaftarkan ke BPJS menyebabkan pemberi kerja (Pemohon I dan Pemohon II) tidak bisa memilih penyelenggara jaminan sosial lain. Padahal, jaminan sosial lainnya nyata-nyata lebih baik dari BPJS. Terlebih, adanya sanksi administratif kepada pemberi kerja apabila tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS seperti diatur Pasal 17 ayat (1) dan (2) huruf c, dan ayat (4), UU BPJS. Tetapi, penyelenggara negara tidak dikenai sanksi administratif bila tidak mendaftarkan BPJS bagi pekerja/pegawainya.

Menurut pemohon, kewajiban memilih BPJS sebagai penyelenggara jaminan sosial pekerja menyebabkan monopoli dalam penyelenggaraan jasa layanan jaminan sosial yang berimbas langsung bagi penyedia jasa layanan kesehatan lainnya (perusahaan asuransi lainnya) seperti yang dialami Pemohon III dan Pemohon IV. Mereka menganggap pasal-pasal itu karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 28H ayat (3) UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait