Cegah Korupsi, Dana Kapitasi BPJS Perlu Dibenahi
Berita

Cegah Korupsi, Dana Kapitasi BPJS Perlu Dibenahi

Ada empat aspek kelemahan pengelolaan dana kapitasi mulai dari regulasi sampai pengawasan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
KPK menemukan kelemahan dalam pengelolaan pembiayaan dalam program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang digelar BPJS Kesehatan, yakni pembiayaan terhadap fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) atau disebut dana kapitasi. Setelah mengobservasi Puskesmas sebagai salah satu FKTP, KPK menemukan kelemahan dalam empat hal.

Pertama, terkait regulasi yang mengatur pembagian jasa medis dan biaya operasional yakni Perpres No. 32 Tahun 2014 dan Permenkes No. 19 Tahun 2014. Regulasi itu berpotensi menimbulkan moral hazard dan ketidakwajaran karena kedua atuan ini menyebut dana kapitasi yang bisa digunakan untuk jasa pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya 60 persen dari total penerimaan.

Regulasi itu belum mengatur mekanisme pengelolaan sisa lebih dana kapitasi. Mekanisme kapitasi membuat dana yang masuk ke sebagian Puskesmas meningkat drastis melebihi kebutuhan Puskesmas setiap tahun. Jika terus terjadi, sisa lebih itu akan terakumulasi tiap tahun dan jumlahnya bisa sangat besar.

Penggunaan dana kapitasi juga kurang mengakomodasi kebutuhan Puskesmas. KPK menilai peruntukan dana kapitasi sebenarnya telah mampu dibiayai dari APBN/APBD sebagai belanja rutin.  Kesulitan yang kerap ditemui lebih pada belanja non rutin seperti pengadaan dan rehabilitasi gedung.

Kedua, aspek pembiayaan. KPK menemukan potensi fraud (penyimpangan) atas dibolehkannya perpindahan peserta penerima bantuan iuran (PBI) dari Puskesmas ke FKTP swasta seperti klinik. Fakta di lapangan menunjukkan oknum petugas Puskesmas mendirikan FKTP swasta. Kemudian, pasien yang datang ke Puskesmas tempat oknum itu bekerja tidak dilayani secara baik dengan berbagai alasan. Pasien yang bersangkutan malah diarahkan ke FKTP swasta milik oknum petugas Puskesmas itu atau yang berafiliasi dengannya.

Ketiga, tata laksana dan sumber daya. KPK menemukan sejumlah persoalan diantaranya lemahnya pemahaman dan kompetensi petugas kesehatan di Puskesmas dalam menjalankan regulasi. Proses eligibilitas kepesertaan di FKTP belum berjalan baik, begitu pula dengan pelaksanaan rujukan berjenjang.

“Potensi petugas FKTP menjadi pelaku penyimpangan (fraud) semakin besar. Petugas Puskesmas rentan jadi korban pemerasan berbagai pihak serta sebaran tenaga kesehatan tidak merata,” kata Humas KPK, Priharsa Nugraha, dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Senin (19/1).

Keempat, KPK menyoroti soal pengawasan. KPK mencatat tidak adanya anggaran pengawasan dana kapitasi di daerah. Itu diperburuk dengan absennya pengawasan dan pengendalian dana kapitasi oleh BPJS Kesehatan.

Atas analisa itu KPK mendorong pemangku kepentingan segera melakukan monitoring dan evaluasi. Khususnya terhadap dana kapitasi di Puskesmas. Untuk regulasi, KPK mendorong perbaikan dalam pengelolaan dan kapitasi, terutama pada FKTP milik pemerintah daerah (pemda). Sekaligus meningkatkan pengendalian baik di tingkat FKTP maupun pemda.

Kompetensi dan pemahaman petugas kesehatan di daerah mengelola dana kapitasi juga perlu ditingkatkan guna meminimalisasi penyimpangan, sehingga penggunaan dana kapitasi bisa efektif dan efisien. KPK meminta pemangku kepentingan menyusun rencana aksi dalam 30 hari kedepan. Apalagi bidang kesehatan salah satu national interest dalam Renstra KPK. Mengingat dana yang dikelola sangat besar, KPK juga berkepentingan mengingatkan agar pihak terkait berhati-hati dalam pelaksanaannya sehingga tidak terjebak dalam tindak pidana korupsi.

KPK mencatat saat ini terdapat hampir 18 ribu FKTP di seluruh Indonesia. Dengan rerata pengelolaan dana kapitasi sekitar Rp400 juta per tahun untuk setiap FKTP.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi, mengatakan perlu persamaan persepsi untuk melihat apa yang dimaksud dengan dana lebih. Sebab, dana kapitasi yang digunakan pasti habis karena 60 persennya untuk jasa medis dan sisanya operasional FKTP. Sekalipun Puskesmas mendapat anggaran dari APBD maka dana kapitasi berfungsi sebagai dana tambahan. “Jadi tidak ada kelebihan atau kekurangan (dana),” katanya.

Soal potensi fraud oleh oknum Puskesmas karena mengalihkan pasien Puskesmas ke fasilitas kesehatan miliknya atau jejaringnya, Irfan mengatakan BPJS Kesehatan selalu melakukan random cross check. Sehingga, dapat mengetahui apakah klaim yang diajukan jejaring fasilitas kesehatan Puskesmas itu sesuai atau tidak.

Untuk kompetensi tenaga medis, Irfan menyebut itu kewenangan dinas kesehatan (dinkes) di bawah pemda. Untuk meningkatkan kompetensi tenaga medis dalam melayani peserta, BPJS Kesehatan melakukan sosialisasi tentang pelayanan. Misalnya, melakukan sosialisasi tentang tata cara mengisi aplikasi P-Care milik BPJS Kesehatan.

Aplikasi P-Care juga berfungsi sebagai alat pengawasan BPJS Kesehatan terhadap FKTP. Lewat aplikasi itu BPJS Kesehatan dapat mengawasi berapa banyak peserta yang berkunjung ke FKTP tersebut apakah terlalu banyak atau kurang. Jika terlalu banyak pesertanya maka akan dipecah ke FKTP lain.

Selain itu, pemda juga melakukan pengawasan terhadap Puskesmas. Salah satu caranya dengan mewajibkan Puskesmas mengajukan rencana anggaran setiap tahun. Jika Puskesmas tersebut tidak mengajukan rencana anggaran, bisa jadi pemda tidak mengucurkan dana kapitasi yang sudah dibayar BPJS Kesehatan.

Menanggapi temuan itu Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengapresiasi analisa yang dilakukan KPK. Menurutnya, itu bentuk pengawasan riil terhadap pelaksanaan JKN selama setahun berjalan. Ia mencatat KPK sudah beberapa kali melakukan pengawasan kepada BPJS.

Timboel menjelaskan, UU BPJS mengamanatkan sejumlah lembaga untuk mengawasi kinerja BPJS Kesehatan yakni Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Kesehatan, DJSN, OJK dan BPK. Namun KPK dinilai lebih rajin melakukan pengawasan terhadap BPJS Kesehatan walau tidak diamanatkan UU BPJS.

“KPK lebih proaktif mengawasi pelaksanaan BPJS Kesehatan, sementara Dewas BPJS Kesehatan dan DJSN lambat dan tidak proaktif untuk mengawasi BPJS Kesehatan,” papar Timboel.

Oleh karenanya selain mengawasi BPJS, Timboel mengusulkan KPK untuk mengawasi kinerja institusi pengawas BPJS seperti Dewas dan DJSN. “Jangan sampai kedua lembaga itu hanya ‘papan nama’ dan para anggotanya hanya makan gaji buta,” kesalnya.

Walau mengapresiasi KPK namun Timboel memberikan beberapa catatan. KPK mestinya ikut mengawasi pelaksanaan kapitasi di seluruh klinik yang bermitra dengan BPJS Kesehatan, bukan hanya Puskesmas. Sebab praktiknya, peserta yang berobat di klinik kerap disuruh membeli obat sendiri dan membayar pelayanan kesehatan lain seperti cek darah.

Mengenai regulasi, dikatakan Timboel, KPK diusulkan mengkritisi Permenkes No. 59 Tahun 2014 yang mengatur paket INA-CBGs dan kapitasi. Layaknya, KPK merekomendasi agar Permenkes No. 59 Tahun 2014 itu direvisi dengan melibatkan asosiasi RS, klinik dan Puskesmas.

BPJS Watch, Timboel melanjutkan, juga mendukung agar ada regulasi yang mengatur mekanisme pengelolaan sisa lebih dana kapitasi. “Jangan sampai dana tersebut jadi ajang untuk dikorupsi dengan berbagai alasan seperti perbaikan fisik Puskesmas,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait