Penyidik KPK Kritik UU TPPU
Berita

Penyidik KPK Kritik UU TPPU

Ada celah pembuktian terbalik di pengadilan berpotensi menguntungkan terdakwa.

NOV/INU
Bacaan 2 Menit

Ketika bukti baru disampaikan di persidangan, menurut Novel, sulit bagi penuntut umum untuk membuktikan sebaliknya karena keterbatasan waktu. “Kapan pula hakim bisa membuktikan kebenaran itu,” terang Novel.

Karena itu, Novel sepakat dengan pendapat sejumlah akademisi yang menggunakan istilah “pembalikan beban sebagian pembuktian” ketimbang “pembuktian terbalik”. Pembuktian dimaksud sudah dilakukan sejak di tingkat penyidikan. “Jadi, nanti disampaikan, tapi di persidangan akan diminta terdakwa untuk membuktikan dulu,” tuturnya.

Novel menuturkan, saat proses penyidikan, sudah dilakukan pembedaan harta hasil kejahatan korupsi dan mana harta hasil TPPU. Ketika seseorang melakukan korupsi, mendapatkan uang dari hasil korupsi, lalu uang itu disimpan di rumah, belum terjadi tindak pidana pencucian uang.

Pencucian uang terjadi apabila hasil kejahatan itu ditempatkan, transfer, dialihkan. Atau tindakan lain seperti tertulis dalam Pasal 3 UU 8 Tahun 2010.

Novel menguraikan, ada kesulitan tersendiri bagi penyidik menelusuri harta hasil kejahatan yang sudah dialihkan dan disembunyikan dalam pelbagai bentuk. Dia bersyukur UU TPPU memberi jalan keluar dengan memudahkan pencarian harta-harta terkait pelaku TPPU dari penyedia jasa keuangan atau tempat-tempat lainnya.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yusuf membenarkan bisa jadi pembuktian terbalik yang hanya disampaikan di persidangan menguntungkan terdakwa. Hal ini terjadi apabila di tahap penyidikan, penyidik tidak mengungkap secara komperhensif asal usul harta yang dimiliki tersangka TPPU.

Untuk mengantisipasi kemungkinan lepasnya terdakwa dari TPPU, Yusuf berpendapat penyidik harus menggali kebenaran materil mengenai asal usul harta kekayaan tersangka TPPU. “Bukan hanya berdasarkan bukti formal seperti sertifikat semata, tapi digali dari mana uang untuk membelinya,” tulis Yusuf melalui Blackberry Messenger pada hukumonline.

Wakil Kepala PPATK Agus Santoso, melalui media yang sama kepada hukumonline menuliskan, pembuktian terbalik bukan hanya merupakan penjelasan lisan belaka. Namun, menuntut adanya bukti berupa dokumen otentik dan sah dengan menyebutkan dasar transaksi-transaksi yang sah pula (underlying transaction) ketika harta tersebut diperoleh.

Agus menambahkan, hakim bisa saja meyakini data-data yang disampaikan terdakwa. Apabila hakim bersikap sebaliknya, harta itu akan dianggap ilegal kemudian dirampas untuk negara. “Beban pembuktian terbalik atas harta atau aset terdakwa yang dituntut jaksa, ada pada si terdakwa, bukan jaksa yang harus buktikan,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait