Perjuangan Panjang Mencari Rehabilitasi Diri
Fokus

Perjuangan Panjang Mencari Rehabilitasi Diri

Ketika Hersri Setiawan meluncurkan buku berjudul "Aku Eks Tapol" pada Kamis (23/08) pekan lalu, salah seorang kawannya sesama tapol yang pernah mendekam di Pulau Buru mengajukan protes pada Hersri. Kawan itu, Gorma Hutajulu memprotes judul buku yang Hersri yang mencantumkan kata eks tapol.

Tim Redaksi
Bacaan 2 Menit

Selain itu, para korban masa lalu itu pernah pula mengajukan gugatan terhadap sejumlah instansi pemerintah, antara lain Menko Polkam, Panglima TNI, Kapolri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun gugatan itu kandas di tengah jalan, majelis menolak gugatan penggugat.

Proses hukum

Witaryono S. Reksoprodjo, Koordinator Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban 1965, berpendapat bahwa proses rehabilitasi tidak hanya penting bagi korban melainkan juga merupakan proses awal untuk rekonsiliasi. Rehabilitasi bertujuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan diskriminasi yang masih terjadi.

Menurutnya, perlakuan diskriminasi timbul akibat masih banyaknya aturan, bahkan undang-undang, yang sangat diskriminatif. "Dalam UU Pemilu yang baru, korban 65 boleh memilih tapi tidak boleh dipilih. Jadi hanya menjadi komoditas politik, orang boleh milih tapi tidak bisa dipilih. Kemudian ada aturan Mendagri yang tidak membolehkan korban 65 jadi pengacara. Itu masih berlaku dan belum dicabut," tukas Witaryono.

Belum lagi perlakuan terhadap keluarga para korban, terutama di daerah. Anak korban tidak boleh menjadi tentara atau Pegawai Negeri Sipil. Persoalan diskriminasi ini, menurut Witaryono, bisa selesai jika dikeluarkan rehabilitasi terhadap para korban.

Tuntutan terhadap rehabilitasi biasanya juga dibarengi dengan tuntutan agar peristiwa tahun 1965 dibuka secara gamblang.  Esther Indahyani Jusuf, aktivis yang pernah membantu Yayasan Penelitian Korban 1965 menyatakan proses rehabilitasi tidak dapat dilakukan tanpa membongkar fakta yang terjadi pada peristiwa 1965 (Lihat Penggalian Korban '65 untuk Ungkapkan Fakta).

"Proses itu tidak bisa lompat, proses  harus tetap ada penyelidikan atas peristiwanya untuk menentukan bagaimana positanya (kasus posisi-red). Sehingga dari positanya, melalui proses hukum baru bisa ditentukan apa yang bisa direhabilitasi atau tidak," ujar Esther.

Rehabilitasi tanpa adanya proses hukum, menurut Esther merupakan proses yang lompat. "Mana  bisa melakukan rehabilitasi kalau kita sendiri tidak tahu apa yang harus direhabilitasi. Misalkan seorang mau direhabilitasi karena pernah dituduh melakukan pencurian, ternyata ia tidak melakukan pencurian, tapi bagaimana kita bisa menyatakan ternyata ia tidak mencuri. Tapi ia dianiaya karena telah melakukan suatu pencurian," lanjutnya.

Tergantung Presiden

Sementara, sejarawan dari LIPI, Asvi Warman Adam menilai surat dari MA kepada Presiden Megawati merupakan suatu hal yang sangat signifikan untuk proses rehabilitasi. Dengan adanya surat MA itu, kini terserah pada Presiden Megawati apakah mau memberikan rehabilitasi atau tidak. Apalagi MPR telah memberikan mandat untuk melakukan rehabilitasi terhadap Presiden Soekarno dan tokoh nasional lainnya.

Bahwa Presiden Megawati sampai saat ini belum juga menindaklanjuti surat dari MA, Asvi menduga Mega mempertimbangkan bahwa pemberian rehabilitasi pada korban 1965 akan mengecilkan hati kalangan Islam, misalnya.  Atau kalangan militer yang masih menyimpan ketakutan mereka akan diadili karena melanggar HAM.  

Asvi menyatakan ada dua hal menyangkut rehabilitasi, yaitu rehabilitasi nama baik dan rehabilitasi yang menyangkut kompensasi. Yang paling penting, menurutnya, adalah rehabilitasi nama baik. Soal kompensasi, ganti rugi dan semacamnya, itu bisa diperhitungkan kemudian, jika keuangan negara sudah mengijinkan.

Apa yang dikatakan Hersri, mungkin bisa menjadi gambaran. Lelaki yang menghabiskan waktu tujuh tahun di Pulau Buru ini mengatakan pemberian ganti rugi miliaran pun baginya tidak berarti. "Buat saya, pembodohan pada masyarakat Indonesia ini yang tidak bisa dimaafkan".

Tags: