Perkembangan Bantuan Hukum dan Tanggungjawab Negara
Uli Parulian Sihombing*

Perkembangan Bantuan Hukum dan Tanggungjawab Negara

James Gordley dan Mauro Cappeleti (1975) mencatat bahwa bantuan hukum lahir dari sikap kedermawanan sekelompok elit gereja terhadap pengikut-pengikutnya. Konsep bantuan hukum tersebut membangun suatu pola hubungan klien dan patron, di mana pemberian bantuan hukum lebih banyak tergantung kepada kepentingan patron yaitu patron ingin melindungi kliennya.

Bacaan 2 Menit

 

Pasal 37 UU No.4 Tahun 1999 menjelaskan bahwa setiap orang yang bersangkut dengan perkara berhak memperoleh bantuan hukum, sementara pasal 38 menjelaskan tentang dalam perkara pidana seseorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat. Pasal 39 malah mempertegas kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.

 

Antara KUHAP dengan UU No. 4 Tahun 2004 tidak ada perbedaan yang mendasar dalam hal memberikan bantuan hukum. Namun UU ini lebih mempertegas peranan advokat untuk memberikan bantuan hukum. Undang-Undang No. 4 Tahun dan KUHAP tidak mengatur dan menjelaskan tentang bagaimana peranan negara/pemerintah untuk mendukung hak atas bantuan hukum tersebut. Begitu juga dalam Undang-Undang Advokat. UU ini hanya menjelaskan tentang bantuan hukum dalam konteks profesi advokat, dan pengaturan teknis tentang bantuan hukum akan diatur dengan peraturan pemerintah (pp).

 

Dari aspek konsep, bantuan hukum juga mengalami perkembangan seiring dengan kondisi social dan politik. Ada konsep bantuan hukum konvensial-tradisional dan konsep bantuan hukum konstitusional serta bantuan hukum struktural.  Konsep bantuan hukum konvensional adalah pelayanan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin secara individual. Sifat bantuan hukum tradisional ini sangat pasif dan pendekatannya sangat formal legalistik. Pasif dalam arti menunggu klien atau masyarakat untuk mengadukan permasalahannya tanpa peduli atau responsif terhadap kondisi hukum, sementara legalistic formal dalam arti melihat permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat atau klien hanya dalam perspektif hukum saja.

         

Konsep bantuan hukum konvensional-tradisional mendapatkan kritik dari para penganut paham konstitusionalisme, maka lahirlah konsep bantuan hukum konstitusional. Konsep bantuan hukum konstitusional lebih diilhami oleh pemikiran negara hukum (rule of law), yang unsur-unsurnya antara lain hukum dijadikan panglima (supreme of law) dan penghormatan hak azasi manusia. Rule of law mewarnai aktivitas-aktivitas bantuan hukum konstitusional, yang antara lain  berupa (i) Penyadaran hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum; dan (ii) Penegakan dan pengembangan nilai-nilai HAM sebagai sendi utama tegaknya negara hukum.

 

Konsep bantuan hukum konstitusional lebih progresif dibandingkan konsep bantuan hukum konvensional-tradisional. Ini terlihat dari konsep bantuan konstitusional yang tidak hanya ditujukan kepada individu, akan tetapi juga ditujukan kepada anggota masyarkat secara kolektif. Dalam melakukan pembelaan terhadap klien, advokat tidak hanya menggunakan jalur litigasi saja, juga menggunakan pendekatan mediasi dan jalur politik. Konsep bantuan hukum konstitusional harus dipahami lahir seiring dengan munculnya pemerintahan orde baru, yang mana di awal pemerintahan orde baru mengkampanyekan supremasi hukum walaupun akhirnya gagal.

 

Dalam perkembangannya, konsep bantuan hukum konstitusional mendapatkan kritik dari ilmuan sosial. Ilmuan sosial lebih melihat bahwa konsep bantuan hukum konstitusional belumlah menembus permasalahan dasar yang dihadapi masyarakat miskin di Indonesia. Bentuk bantuan hukum konstitusional hanyalah cara pandang kelas menengah di Indonesia seperti akademisi, advokat, atau mahasiswa  terhadap permasalahan sosial di Indonesia. 

 

Setelah konsep bantuan hukum konstitusional, maka lahirlah konsep bantuan hukum struktural. Konsep bantuan hukum struktural erat kaitannya dengan kemiskinan struktural, ilmuwan sosial sering menyebut istilah kemiskinan struktural dengan kemiskinan buatan karena memang sengaja orang dibuat atau dilegalkan untuk menjadi miskin baik secara ekonomi, informasi maupun akses untuk berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah atau negara.

Tags: