Perlindungan Konsumen di Era Ekonomi Digital Masih Minim
Berita

Perlindungan Konsumen di Era Ekonomi Digital Masih Minim

Masih lemahnya regulasi dan kebijakan serta belum optimalnya iktikad baik produsen, maka era digital justru bisa menjadi ancaman serius bagi konsumen.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Foto: ylki.or.id
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Foto: ylki.or.id
Organisasi Konsumen Internasional (CI) menetapkan tanggal 15 Maret sebagai World Consumer Right Day (WCRD) atau Hari Hak Konsumen se Dunia. Tentu ada cerita di balik penetapan tersebut. Pada 15 Maret 1962, Presiden Amerika Serikat John F Kennedy berpidato di depan Kongres yang mengangkat hak-hak konsumen, termasuk hak untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Sebagai seremoni, WCRD di mulai 15 Maret 1983.

Dalam rilis yang dikutip hukumonline, Rabu (15/3), Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan tema WCRD kali ini adalah perlindungan konsumen di era digital. Menurut Tulus, jika merujuk pada kondisi faktual di Indonesia saat ini, tema WCRD menjadi sangat aktual dan relevan. Soalnya, saat ini praktis fenomena transaksi konsumen dengan produsen serba digital (digitalisasi) mulai dari sektor perbankan/finansial, telekomunikasi, e-commerce, makanan minuman, dan transportasi berbasis aplikasi.

“Namun, apakah fenomena tersebut sepenuhnya menguntungkan konsumen? Jawabnya tidak! Kenapa,” kata Tulus seraya bertanya. (Baca Juga: 'Lampu Kuning' Sektor Financial Services)

Tulus menjelaskan, ada lima faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Pertama, masih lemahnya regulasi sektoral yang melindungi konsumen. Di sektor perdagangan, kata Tulus, PP tentang E-Commerce sampai sekarang belum disahkan. Kedua, produsen e-commerce termasuk provider aplikasi belum sepenuhnya mempunyai iktikad baik dalam bertransaksi. “Sebagai contoh, mereka tidak mau bertanggungjawab terhadap kerugian konsumen, tidak menyediakan akses pengaduan, dan tidak ada mekanisme penanganan sengketa,” ujar Tulus.

Ketiga, tidak ada perlindugan data pribadi konsumen. Hampir semua operator menyatakan bahwa pihaknya akan menggunakan data pribadi konsumen untuk keperluan lain dengan mitra dagangnya. Keempat, para provider banyak menyisipkan perjanjian baku yang sangat sulit dipahami konsumen dan merugikan konsumen. Tulus juga mengingatkan bahwa Provider transportasi aplikasi perjanjian bakunya mencapai 70 halaman!

Kelima, aspek literasi dan keberdayaan konsumen yang masih rendah. Keberdayaan konsumen di Indonesia baru pada level “paham” dengan skor 34, 17. Dengan skor tersebut konsumen Indonesia belum berani melakukan komplain/pengaduan. (Baca Juga: Transaksi Online Harus Jamin Kerahasiaan Data Nasabah)  

“Dengan lima faktor kelemahan itu, pantaslah jika sampai 2016, tingkat pengaduan terkait transaksi elektronik di YLKI meningkat tajam, menduduki ke-3 terbesar dari total pengaduan sebanyak 781 pengaduan lewat surat/datang langsung, dan dari 10.038 pengaduan lewat telepon,” terang Tulus.

Tulus mengakui, era digital banyak memberikan manfaat positif bagi konsumen dan menggenjot pertumbuhan ekonomi mikro. Namun, dengan masih lemahnya regulasi dan kebijakan serta belum optimalnya iktikad baik produsen, maka era digital justru bisa menjadi ancaman serius bagi konsumen.

Oleh karena itu, lanjut Tulus, YLKI mendesak pemerintah untuk melakukan lima hal. 1. Mereview perjanjian-perjanjian baku yang ada dalam transaksi elektronik dari semua operator. Pasal-pasal yang merugikan konsumen harus dibatalkan; 2. Mendorong penyelesaian sengketa konsumen secara online; 3. Mendorong dan mempercepat lahirnya UU Perlindungan dan Kerahasiaan Data Pribadi; 4. Mendorong Kemendag untuk mempercepat pengesehan RPP tentang Belanja Elektronik; 5. Melakukan edukasi dan pemberdayaan pada konsumen.

Tags:

Berita Terkait