Perlu Integrasi dan Komitmen Aparat Hukum dalam Pencegahan Korupsi
Utama

Perlu Integrasi dan Komitmen Aparat Hukum dalam Pencegahan Korupsi

Perlu bagaimana berbagi peran lembaga penegak hukum dan peradilan bersinergi dan duduk bersama mencari cara dan upaya pencegahan yang efektif.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

Celah korupsi di peradilan

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah menilai kasus Djoko Tjandra menjadi momentum seluruh lembaga penegak hukum berkaca, sekaligus bersih-bersih dari praktik korupsi. Liza menyoroti dari aspek lembaga peradilan. Dia menjabarkan praktik korupsi terbagi menjadi dua.

Pertama, praktik korupsi sistemik yakni memanfaatkan kelemahan birokrasi sebagai peluang melawan hukum serta mengambil keuntungan. Seperti sebelum periode 2016, alur penanganan perkara di MA terbilang panjang birokrasinya. Hal itu terbuka celah terjadinya tindak pidana korupsi. Kedua, korupsi nonsistemik yakni tanpa menggunakan kelemahan birokrasi secara terstruktur.  

Dia pun membeberkan penyebab terjadinya korupsi di lembaga peradilan. Pertama, adanya pergeseran fungsi kasasi di MA. Idealnya, MA sebagai pengadil upaya kasasi tidak memutus berat ringannya hukuman terhadap kasus pidana atau pidana korupsi. Fungsi kasasi sejatinya hanya menilai tepat atau tidaknya penerapan hukum judect factie oleh pengadilan tingkat pertama dan banding.

“Praktiknya, MA seperti menjadi pengadilan tinggi kedua memutus berat ringannya hukuman untuk kasus pidana dan kasus korupsi. MA bisa menaikan atau menurunkan hukuman. Pergeseran ini menjadi celah korupsi. Jika MA melakukan fungsi kasasi secara ideal, maka akan meminimalisir celah terjadinya korupsi,” kata dia.

Kedua, proses birokrasi penanganan perkara yang panjang. Meski MA kini telah membuat terobosan  dengan mengefektifkan dan mengefisienkan proses penanganan perkara dengan memusatkan pada kepaniteraan, berbeda dengan sebelumnya. Sebelumnya, format putusan MA sedemikian tebal dan panjang yang hanya mengulang-ngulang surat dakwaan, tuntutan. Padahal, pertimbangan hukum putusan tidak banyak. Tapi kini, MA membuat kebijakan supaya format putusan menjadi lebih efektif dan efisien.

“Kalau penanganan berkas perkara yang sedemikian panjang dan ribet akan menjadi membuka celah terjadinya praktik korupsi (suap, red),” kata dia.

Ketiga, organisasi peradilan satu atap yang sentralistis dan akuntabilitasnya cukup lemah. Sejak beberapa tahun terakhir, MA sudah menganut sistem satu atap, sehingga semua kebijakan terkait teknis peradilan, administrasi hingga finansial berada di bawah MA. Nah, banyak pihak yang berharap agar MA bisa menjaga akuntabilitas dan transparansinya.

Tags:

Berita Terkait