Perlu Terobosan Hukum untuk Merampas Aset Tindak Pidana
Utama

Perlu Terobosan Hukum untuk Merampas Aset Tindak Pidana

Proses birokrasi yang panjang dan rumit menyebabkan aset tindak pidana sulit untuk dirampas dalam waktu cepat. Terdapat beberapa model perampasan aset antara lain criminal confiscation, non-conviction based confiscation (NCB), dan civil actions. Criminal confiscation intinya menggunakan mekanisme pidana.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Surabaya itu menjelaskan, KUHAP dan KUHP serta berbagai aturan lainnya bisa digunakan untuk menyita dan merampas aset dan kekayaan hasil tindak pidana. Tapi dalam aturan yang berlaku saat ini perampasan aset bisa dilakukan ketika pelakunya terbukti bersalah di pengadilan secara sah dan meyakinkan. Padahal praktiknya banyak hambatan dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan pelaku misalnya pelaku meninggal atau halangan lain sehingga pelaku tidak bisa diseret ke pengadilan atau tidak ada bukti yang cukup.

RUU Perampasan Aset mengatur aset yang diduga dari hasil tindak pidana itu bisa disita tanpa dikaitkan dengan proses pidana terhadap pelakunya. Pengaturannya harus dilakukan secara cermat dan hati-hati karena berpotensi melanggar hak warga negara terkait kebendaan. Selain itu jangan sampai aparat hukum menyalahgunakan kewenangannya.

“Hal ini diperlukan agar proses penegakan hukum terkait perampasan aset tindak pidana dapat menjaga harkat dan derajat manusia,” usulnya.

Hukumonline.com

Kedua dari kanan: Prof Harkristuti Harkrisnowo, Ketua Umum Mahupiki, Yenti Garnasih, dan Prof Topo Santoso. Foto: Istimewa

Dalam kegiatan yang sama Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) Prof Harkristuti Harkrisnowo, mencatat RUU Perampasan Aset sudah lama dibuat dan surat presiden (Surpres) sudah disampaikan beberapa waktu lalu ke DPR. Mahupiki juga sudah menyampaikan masukan kepada DPR terkait urgensi UU Perampasan Aset.

“Kami sudah sampaikan kepada DPR RUU ini penting,” kata Ketua Dewan Penasihat Mahupiki itu.

Perempuan yang disapa Prof Tuti itu mencatat kerugian negara akibat tindak pidana sudah sangat besar tapi untuk merampas aset tindak pidana perlu ada putusan pengadilan terlebih dulu terhadap pelakunya. Praktiknya tidak mudah bagi aparat penegak hukum membuktikan kejahatan tersebut. Saat ini aparat sangat membutuhkan cara bagaimana merampas aset hasil tindak pidana dalam waktu cepat secara cermat dan hati-hati.

Ketua Umum Mahupiki, Yenti Garnasih, berpendapat seharusnya Indonesia sudah memiliki UU Perampasan Aset karena penting untuk mendukung salah satunya penegakan pidana korupsi. Rapat paripurna DPR yang digelar Selasa (21/6/2023) kemarin terlihat parlemen belum ada keinginan untuk membahas RUU Perampasan Aset.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait