Beragam Usulan untuk RUU Perampasan Aset
Terbaru

Beragam Usulan untuk RUU Perampasan Aset

Mulai dari status tersangka/terdakwa yang bisa diajukan perampasan aset, hingga kesiapan aparat penegak hukum menjalankan UU Perampasan Aset nantinya.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kajati DKI Jakarta Reda Manthovani dalam diskusi bertema Menyoal Perampasan Aset: Urgensi UU Perampasan Aset di Indonesia, Senin (12/6/2023). Foto: ADY
Kajati DKI Jakarta Reda Manthovani dalam diskusi bertema Menyoal Perampasan Aset: Urgensi UU Perampasan Aset di Indonesia, Senin (12/6/2023). Foto: ADY

Perampasan aset tanpa pemidanaan atau non-conviction based (NCB) asset forfeiture yang diatur dalam RUU Perampasan Aset dinilai bukan konsep baru di Indonesia. Konsep tersebut sebagai upaya agar dapat mengembalikan kerugian negara secara maksimal. Sejatinya peraturan perundangan di Indonesia telah mengadopsi konsep tersebut, namun tidak memenuhi secara maksimal dasar filosofis adanya konsep NBC asset forfeiture.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta Reda Manthovani, mengatakan regulasi yang selama ini digunakan untuk perampasan aset menggunakan mekanisme perdata yakni Pasal 32-34 UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Jaksa Pengacara Negara (JPN) dapat mengajukan gugatan untuk penyitaan dan perampasan aset dalam hal tersangka/terdakwa berada dalam 4 status.

Pertama, tersangka atau terdakwa meninggal dunia. Kedua, terdakwa diputus bebas. Ketiga, tersangka atau terdakwa menjadi gila. Keempat, tidak ditemukan ahli waris dari tersangka atau terdakwa. Jika gugatan menggunakan mekanisme perdata, maka prosesnya membutuhkan waktu yang sangat lama dan banyak menghadapi hambatan.

“Berbagai hal itu penting untuk masuk dalam RUU Perampasan Aset. Beberapa hal yang belum lengkap aturannya dalam sistem hukum kita bisa dilengkapi,” ujar Reda dalam diskusi bertema ‘Menyoal Perampasan Aset: Urgensi UU Perampasan Aset di Indonesia’, Senin (12/6/2023).

Baca juga:

Reda yakin pembahasan RUU Perampasan Aset nanti akan menuai banyak perdebatan. Misalnya, di kalangan pegiat HAM akan mempersoalkan mekanisme perampasan aset ini dengan hak milik individu, dan asas praduga tak bersalah. Ada juga pandangan yang menilai seseorang tidak dapat dipidana karena dicurigai memiliki harta. Oleh karena itu harus ada mekanisme yang adil dalam proses perampasan aset.

Tapi  Reda yang juga mantan Kajati Banten itu mengingatkan, RUU Perampasan Aset ini penting dan sangat dibutuhkan. Secara umum RUU Perampasan Aset memuat ketentuan yang lebih moderat ketimbang UU Perampasan Aset yang digunakan negara lain. Rancangan beleid ini nantinya harus melihat kondisi yang berkembang di Indonesia seperti mengadopsi kearifan lokal.

Tags:

Berita Terkait