Perlunya Cara Menentukan Masyarakat Terdampak dalam Partisipasi Bermakna
Utama

Perlunya Cara Menentukan Masyarakat Terdampak dalam Partisipasi Bermakna

Seleksi terhadap orang atau kelompok yang terdampak langsung dari rancangan kebijakan maupun rancangan peraturan perundangan berada di ranah pengadilan dengan putusan yang memuat penetapan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
webinar bertajuk 'Menatap Masa Depan Perundang-Undangan Indonesia Pasca Pengundangan UU No.13 Tahun 2022' secara daring, Sabtu (2/7). Foto: RFQ
webinar bertajuk 'Menatap Masa Depan Perundang-Undangan Indonesia Pasca Pengundangan UU No.13 Tahun 2022' secara daring, Sabtu (2/7). Foto: RFQ

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PUU-XVIII Tahun 2020 atas uji formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terdapat keharusan pembentuk UU melibatkan peran serta masyarakat secara bermakna alias meaningful participation. Masalahnya, salah satu syarat yang diatur adalah masyarakat terdampak langsung terhadap sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibentuk. Lantas bagaimana cara menentukan masyarakat terdampak yang dapat didengar dalam proses pembentukan peraturan perundangan?

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal (Dirjen) Peraturan Perundangan (PP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Dhahana Putra, berpandangan saat pemerintah merespons putusan MK No.91/PUU-XVIII Tahun 2020, salah satu yang diperhatikan adalah soal pengaturan peran serta masyarakat secara bermakna. Lantas menjadi soal bagaimana menentukan ukuran peran, serta masyarakat mana yang dapat didengarkan dalam proses pembentukan peraturan perundangan.

"Kemudian kita kaji," ujarnya dalam webinar bertajuk 'Menatap Masa Depan Perundang-Undangan Indonesia Pasca Pengundangan UU No.13 Tahun 2022' secara daring, Sabtu (2/7).

Baca Juga:

Berdasarkan hasil kajian di internal pemerintah terdapat dua hal. Pertama, orang yang terdampak langsung dengan pembentukan peraturan perundangan yang sedang berproses. Kedua, orang atau kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap rancangan peraturan perundangan yang sedang dibentuk. Menurutnya, kedua kriteria tersebut menjadi syarat dalam menentukan masyarakat yang dapat didengar dalam proses pembentukan peraturan perundangan.

Pasal 96 ayat (1) UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan, "Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan".

Namun dalam ayat (3) memberikan batasan.  Ayat (3) menyebutkan, "Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan".

Tags:

Berita Terkait