Majelis Pengadilan Niaga yang dipimpin oleh Erwin Mangatas Malau memutuskan untuk menolak permohonan pailit yang diajukan oleh PT Bank Niaga Tbk terhadap PT Barito Pacific Timber Tbk. Menurut Majelis, perselisihan yang terjadi antara Bank Niaga dengan Barito yang akhirnya berujung pada permohonan pailit tidak bisa dibuktikan secara sederhana.
Dalam pertimbangan hukumnya (27/2), Majelis Pengadilan Niaga mengemukakan bahwa yang menjadi pokok permasalahan pada perkara kepailitan ini adalah eksistensi dari perjanjian perwaliamanatan yang ditandatangani pada 15 Juli 1997. Perjanjian tersebut telah dijadikan dasar bagi Bank Niaga untuk mengajukan permohonan pailit terhadap Barito.
Menurut Barito selaku Termohon pailit, perjanjian perwaliamanatan yang dijadikan dasar permohonan pailit (perjanjian tanggal 15 Juli 1997) sudah tidak berlaku karena sudah ditambah dan diubah beberapa kali.
Menurut Majelis, karena ada perselisihan apakah perjanjian perwaliamanatan adalah sah dan masih berlaku sehingga tindakan-tindakan hukum yang mengarah pada permohonan pailit dapat dilakukan, memerlukan pembuktian yang rumit dan berkepanjangan.
Keadaan memaksa
Pada bagian lain, Majelis juga mempertimbangkan masalah keadaan memaksa yang dijadikan alasan bagi Barito untuk tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap Bank Niaga.
Sebelumnya, Barito mendalilkan bahwa unsur Pasal 1 ayat(1) Undang-Undang Kepailitan (UUK) tidak terbukti karena Barito telah kehilangan penghasilannya (termasuk penghasilan anak perusahaannya) akibat gempa bumi di Maluku Utara dan kerusuhan di Kalimantan.
Berdasarkan keterangan saksi yang dihadirkan ke persidangan sebelumnya, memang benar telah terjadi gempa bumi di Mangole, Maluku Utara, yang mengakibatkan pabrik PT Tunggal Agatis Indah Wood Industries (TAIWI) mengalami kerusakan. TAIWI adalah salah satu anak perusahaan Barito. Demikian pula dengan serangkaian kerusuhan di Kalimantan, yang mengakibatkan operasional dari Barito menjadi terganggu.