Perpres APBN Belum Terbit, Pengalihan Subsidi BBM Dinilai Tak Terbukti
Berita

Perpres APBN Belum Terbit, Pengalihan Subsidi BBM Dinilai Tak Terbukti

Indonesia sudah harus beralih pada konsumsi BBG untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM.

KAR
Bacaan 2 Menit
Perpres APBN Belum Terbit, Pengalihan Subsidi BBM Dinilai Tak Terbukti
Hukumonline
Pemerintahan Joko Widodo telah berani mengambil langkah fenomenal dengan mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM). Sebagai kompensasinya, Presiden berjanji akan mengalihkan anggaran subsidi itu untuk pembenahan infrastruktur. Presiden berkeyakinan, alokasi APBN untuk infrastruktur akan lebih tepat sasaran dibandingkan jika dikucurkann sebagai subsidi BBM.

Sayangnya, keyakinan Presiden itu hingga kini belum terbukti nyata. Direktur Center For Budget Analysis Uchok Sky Khadafi menilai, masyarakat belum bisa merasakan pengalihan anggaran yang tepat sasaran. Sebaliknya, Uchok justru beranggarapan bahwa masyarakat harus menanggung beban lebih berat pasca-pencabutan subsidi.

Lebih dari itu, dirinya melihat pencabutan subsidi BBM juga telah menimbulkan kekacauan harga. Pasalnyan, imbas dari kenaikan harga BBM membuat harga-harga komoditas lainnya turut melambung tinggi. Sementara itu, pengalihan anggaran tak tampak nyata bermanfaat bagi masyarakat.

"Subsidi BBM dicabut itukan supaya ruang fiskalnya luas. Tapi ternyata setelah subsidi di cabut maka terjadi kekacauan harga. Sudah itu alokasi ini buat masyarakat belum jelas, misalnya Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang gak jelas. Orang berobat saja masih susah," tutur Uchok dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (2/4).

Uchok mengkritisi, seharusnya dengan pencabutan subsidi BBM pemerintah sudah mendapatkan ruang fiskal yang cukup luas untuk merealisasikan janji-janji yang pro rakyat semasa kampanye dulu. Menurutnya, dana yang akan dialokasikan itu sudah ada. Hanya saja, hingga sekarang perpres APBN belum ada sama sekali. Padahal Undang-undangnya sudah ada.

“Artinya program-program pemerintah belum siap. Uangnya belum cair, hanya gaji saja yang tetap jalan," tandasnya.

Selain itu, Uchok juga menengarai perhitungan harga BBM premium saat ini tidak transparan. Bahkan, menurutnya, ada ketidaksesuaian penghitungan dengan penetapan harga. Akibatnya, Uchok melihat ada kemungkinan permainan pemburu rente.

“Menurut perhitungan saya seharusnya harga premium saat ini hanya mencapai Rp6.300 per liter. Jadi ada selisih Rp1.500 dari per liter. Karena tidak sesuai maka saya katakan ini kenaikan harga dari mafia BBM," tuturnya.

Dengan penghitungan yang dimilikinya, Uchok menduga setidaknya mafia yang bermain di dalamnya akan meraup keuntungan sebesar Rp360 miliar per bulan. Perhitungan tersebut dengan asumsi hilangnya BBM sebesar 1.500 barel per bulan. Jadi, per tahunnya para pemburu rente bisa meraup untung hingga Rp4,3 triliun dari konsumen BBM Indonesia.

“Oleh karena itu, keputusan pemerintah untuk menaikan harga BBM kemarin bukan untuk mengamankan sektor energi dari kerugian. Melainkan untuk melindungi mafia yang bermain di pasar energi Indonesia,” tudingnya.

Di sisi lain, juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Saleh Abdurrahman, menegaskan bahwa pemerintah sudah cukup transparan dalam menentukan harga BBM. Menurutnya, pihaknyasudah presentasikan secara terbuka, sangat terbuka struktur biaya BBM Premium. Dengan demikian, masyarakat bisa mengakses informasi mengapa harga Premium sampai ke harga Rp7.300. “Sehingga tidak ada yang perlu kita sembunyikan," tegasnya.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Imanuddin Abdullah mengatakan, selama ini Indonesia memang terlalu bergantung pada BBM. Menurutnya, pemerintah harus segera melakukan konversi energi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG). Jika tidak maka, maka anak cucu kita akan dihantui adanya krisis energi.

"Ini kita terlalu tergantung oleh minyak. Padahal ini energi masa lalu. Ke depan kita gak bisa bergantung terus dengan minyak,” tuturnya.

Imanudin mencontohkan,Norwegia sebagai negara yang sukses melakukan konversi energi. Ia menyebut negara itu kaya akan minyak tetapi transportasinya mengunakan biofuel. Kemudian negara berkembang Brazil juga sudah mengandalkan ethanol.

“Seharusnya Indonesia bisa dengan mudah melakukan konversi energi ke gas. Indonesia memiliki cadangan gas yang cukup besar untuk dimanfaatkan. Ini kembali lagi ke pemerintah, harus ada political will,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait