Vonis hukuman mati bukanlah asing dalam dunia peradilan Indonesia. Sudah ratusan individu yang dijatuhi dengan hukuman mati, sebagian sudah dieksekusi. Sebagian besar hukuman mati disematkan kepada mereka yang terlibat dalam kasus narkotika, pembunuhan, dan juga terorisme.
Kini hukuman mati telah memasuki babak baru dengan diundangkannya UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mulai berlaku pada awal tahun 2026 nanti. UU 1/2023 kini mengatur penjatuhan hukuman mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.
Jika terpidana dianggap melakukan sikap dan perbuatan terpuji, maka hukuman matinya dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. Pertanyaan besar dari lahirnya rezim baru penjatuhan hukuman mati adalah bagaimana ketentuan ini akan berlaku bagi mereka yang sudah divonis jauh sebelum UU 1/2023 berlaku?
Pertanyaan ini mengemuka dalam kegiatan focus group discussion (FGD) bertajuk “Kesenjangan Pengaturan Hukuman mati dalam KUHP Baru dengan Status Quo: Masalah dan Urgensi”, Selasa (16/5/2023) di Jakarta.
Baca Juga:
- KUHP Baru Dianggap Tahap Menuju Penghapusan Hukuman Mati
- Amnesty International: Hukuman Seumur Hidup Sebagai Alternatif Hukuman Mati
- Pengaturan Pidana Mati dalam RKUHP sebagai Jalan Tengah
Advokat Senior Todung Mulya Lubis yang membuka FGD ini, menceritakan awal mula dirinya menolak hukuman mati dengan mendatangi Wakil Presiden waktu itu Adam Malik bersama para seniornya Yap Thiam Hien dan sejumlah rekan untuk menolak hukuman mati. Gerakan Hapus Hukuman Mati atau HATI yang dipeloporinya menjadi kian vokal.
Sampai-sampai, ia mendapat cibiran dari rekannya yang menilai bahwa hukuman mati pada dasarnya pun diperbolehkan dalam hukum Islam. Kini narasi tersebut layak dipertanyakan kembali sebab negara tetangga Malaysia dalam konstitusinya mengaku sebagai negara muslim pun kini menghapus hukuman mati yang mandatory.