Perusahaan Abdullah Puteh Minta Pembatalan Kontrak Pengelolaan Hutan Kayu
Berita

Perusahaan Abdullah Puteh Minta Pembatalan Kontrak Pengelolaan Hutan Kayu

Pelaksana Kontrak balik gugat perusahaan Abdullah Puteh sejumlah Rp103 miliar.

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Foto: SGP.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Foto: SGP.
PT Woyla Raya Abadi, perusahaan yang dipimpin oleh mantan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh menggugat pembatalan akta perjanjian kerja sama hasil pemanfaatan hutan kayu dengan Herry Laksmono di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Sidang sudah memasuki tahap akhir. Sejatinya, perkara ini akan diputus hari ini Selasa (3/6), tetapi majelis menunda pembacaan putusan perkara ini. “Sidangnya ditunda satu minggu lagi,” tutur kuasa hukum Herry Laksmono, Djamaluddin kepada wartawan ketika ditemui di pengadilan, Selasa (3/6).

Berdasarkan berkas gugatan, kasus ini berawal PT Woyla yang mendapat izin dari Kementerian Kehutanan untuk melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu yang terletak di Dusun Mamfud Desa Barunang, Kecamatan Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah. PT Woyla meminta Herry Laksmono untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Mereka mengikat perjanjian ke dalam akta tertanggal 27 September 2011.

Dalam perjanjian itu, PT Woyla memberikan hak kepada Herry untuk melakukan penebangan dan pengelolaan serta melakukan penjualan atas kayu pada lahan itu. Kayu yang dimaksud adalah berdiameter lebih dari 20 cm sedangkan kayu berdiameter kurang dari 20 cm tetap menjadi milik PT Woyla. Kayu-kayu itu akan digunakan Woyla untuk pembangunan Base Camp, perumahan, dan jembatan.

Terhadap perjanjian tersebut, dalam perjalanannya, PT Woyla menilai Herry tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Herry tidak melakukan penebangan sesuai dengan blok yang sudah ditentukan, tetapi Herry menebang secara acak dan melompat ke blok-blok lain. Herry juga tidak melakukan sistem tebang habis, tetapi melakukan sistem tebang pilih.

Herry dinilai hanya menebang kayu yang berdiameter di atas 42 cm. Akibatnya, Herry tidak memenuhi target volume kayu Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2012, yaitu sebanyak 85.312,43 m3. Herry hanya mencapai 18.000 m3.

Tindakan tebang pilih tersebut telah merugikan PT Woyla. Volume produksi hasil kayu perusahaan berkurang dan perusahaan juga tidak dapat membangun lahan pembibitan tanaman pohon karet seluas 25 hektar yang telah direncanakan. Atas pelanggaran perjanjian ini, Abdullah Puteh selaku CEO PT Woyla telah berulang kali mengingatkan Herry untuk mematuhi perjanjian dan mengingatkan Herry untuk tidak menebang pohon berdiameter di atas 30 cm agar pohon berdiameter 20-29 cm tidak mengalami kerusakan.

Meskipun telah diingatkan Abdullah Puteh, Herry tidak mengindahkannya. Alhasil, perusahaan memutuskan untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat.

Herry selaku pelaksana kontrak proyek ini menampik seluruh dalil-dalil yang ditudingkan PT Woyla. Justru, Herry menilai perusahaan yang tidak profesional dalam melaksanakan kewajibannya. Tidak habisnya pohon yang ditebang Herry lantaran perusahaan tidak melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar. Sebagai pelaksana lapangan, Herry berdalih tidak dapat berbuat banyak untuk berhadapan dengan protes penduduk lokal. Alhasil, Herry seringkali mengalami hambatan saat melakukan penebangan.

Untuk permintaan Woyla yang ingin membatalkan kontrak kerja sama tersebut, Herry justru meminta majelis untuk tetap menyatakan kontrak tersebut mengikat para pihak. Herry dengan tegas menyatakan sama sekali tidak lalai dalam melakukan perjanjian tersebut. Lagi-lagi, sebab musababnya tidak tercapai target volume kayu lantaran kesalahan dari perusahaan sendiri.

Atas kesalahan perusahaan, Herry mengklaim justru ia yang mengalami kerugian baik material dan immaterial. Dalam berkas jawabannya, ia menggugat balik PT Woyla dan menuntut ganti rugi sejumlah Rp103 miliar ditambah biaya pengacara sejumlah Rp750 juta.
Tags: