Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) telah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan inkonstitusional.
Kini, berdasarkanSurat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 Tahun 2020 tentang Penanganan Perkara dan Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dalam Pelaksanaan Tugas Fungsi Reskrim Terkait Perkembangan Situasi serta Opini di Ruang Siber dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Siber, ketentuan penghinaan pada presiden selama terjadinya wabah Covid-19 merujuk pada Pasal 207 KUHP.
Sertifikasi halal sebagai upaya mendapatkan label halal dapat diajukan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (“BPJPH”) di bawah Kementerian Agama. Meskipun kedudukan Majelis Ulama Indonesia (“MUI”) digantikan oleh BPJPH, namun MUI tetap memiliki peran dalam proses sertifikasi halal bekerja sama dengan BPJH.
Surat keterangan dokter palsu sedang marak beredar, karena adanya kebutuhan untuk bepergian selama wabah Covid-19. Pembuat dan pengguna surat keterangan dokter palsu dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Jika pelaku pemalsuan adalah dokter, maka yang berlaku adalah Pasal 267 ayat (1) KUHP.
Secara hukum positif, tidak ada ketentuan yang menguraikan mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap hasil pemeriksaan atau rekomendasi Ombudsman, namun setidak-tidaknya ada upaya-upaya yang dapat dilakukan pihak pelapor maupun terlapor jika merasa keberatan dengan hasil pemeriksaan atau rekomendasi Ombudsman.
Dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, diatur mengenai “peminangan”, yaitu kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita.
Peminangan ini dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya. Namun sebenarnya peminangan tidak wajib sifatnya dan tidak memengaruhi keabsahan perkawinan.
Masa dan beban belajar penyelenggaraan program pendidikan sarjana dan program diploma empat/sarjana terapan paling lama tujuh tahun akademik. Selama masa studi, mahasiswa dapat mengambil cuti akademik, namun tiap perguruan tinggi memiliki kebijakan masing-masing terkait apakah cuti akademik itu termasuk ke dalam masa studi aktif mahasiswa yang bersangkutan atau tidak.
Demikian 10 artikel pilihan pembaca yang paling ‘laris’ sepanjang minggu ini. Jika kamu punya pertanyaan, silakan kirim pertanyaan ke http://www.hukumonline.com/klinik. Kamu perlu log in dahulu sebelum mengajukan pertanyaan. Tapi sebelum kirim, silakan cek arsip jawabannya dulu ya! Siapa tahu sudah pernah dijawab oleh tim Klinik.