Polemik Minyak Goreng, Negara Dinilai Tak Punya Kendali Penuh di Industri Minyak Goreng
Terbaru

Polemik Minyak Goreng, Negara Dinilai Tak Punya Kendali Penuh di Industri Minyak Goreng

Pemerintah diminta atur ulang konsesi perkebunan kelapa sawit dan produk turunan.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Warga mengantre membeli minyak goreng. Foto ilustrasi: RES
Warga mengantre membeli minyak goreng. Foto ilustrasi: RES

Tingginya harga minyak goreng di pasaran masih menjadi polemik hingga saat ini. Meski pemerintah telah berupaya melakukan stabilisasi harga minyak goreng lewat Permendag No.06 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit, namun nyatanya sejak 1 Februari lalu harga minyak goreng belum mengalami penurunan.

Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron menyampaikan bahwa sejak pemerintah memberlakukan HET minyak goreng, pihaknya melakukan inspeksi mendadak ke beberapa pasar di Indramayu dan Cirebon. Hasilnya harga minyak goreng masih di atas HET.

“Bahkan lihat beberapa turun ke pasar harga minyak curah lebih mahal dari minyak kemasan. Pasar yang sudah disidak umunya harga masih di atas Rp14ribu, artinya ada kekuarangan supply di masing-masing pasar. Dan karena ada permintaan pemerintah terkait HET, memang rata-rata 10-20 persen saja supply untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dari situasi yang normal,” kata Herman, Kamis (17/2).

Menurut Herman, melonjaknya harga CPO internasional menjadi penyebab utama dari mahalnya harga minyak goreng di dalam negeri. Para pengusaha perkebunan dan pengolahan sawit memilih untuk melakukan ekspor ke luar negeri yang mengakibatkan konsumsi dalam negeri menjadi bermasalah. (Baca: Selidiki Dugaan Pelanggaran Persaingan Usaha, KPPU Panggil Produsen Minyak Goreng)

Sebagai pengusaha, hal tersebut lumrah untuk dilakukan. Pengusaha akan menjual produk kepada pihak yang memberikan keuntungan lebih besar. Namun situasi ini sekaligus membuktikan bahwa negara tidak punya kendali penuh atas industri minyak goreng di dalam negeri.

Misalnya saja terkait lahan perkebunan sawit yang ada di Indonesia. Dari 100 persen atau sebanyak 14 juta kawasan konsesi kelapa sawit, negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menguasai sebanyak 4 persen saja. Sisanya 45 persen dimiliki oleh masyarakat dan 51 persen dikuasai oleh pihak swasta.

“Ini sudah masuk jebakan liberalisasi dan bebas yang berlaku di pasar persaingan sempurna. Ini yang harus diperbaiki, fundamental pada harga bukan hanya mafia kartel, itu diujung. Di hulunya pun sudah kehilangan sumber daya,” jelas Herman.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait