Polemik SI Karena Ada Beda Penafsiran
Berita

Polemik SI Karena Ada Beda Penafsiran

Dua pakar hukum tata negara berpolemik soal Sidang Istimewa (SI). Bagi Harun Al Rasyid, SI MPR inkonstitusional. Namun, Jimly Asshidiqie melihat pendapat Harun itu sesat. Alasan Jimly, proses impeachment jelas diatur dalam penjelasan UUD 1945 dan dalam Tap MPR.

Oleh:
Tri/APr
Bacaan 2 Menit
Polemik SI Karena Ada Beda Penafsiran
Hukumonline

Polemik konstitusional atau inkonstitusional Sidang Istimewa (SI) MPR yang akan digelar pada 1 Agustus 2001 untuk meminta pertanggungjawaban presiden terjadi karena adanya beda penafsiran. Perbedaan penafsiran antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan kubu MPR/DPR ini karena menggangap SI MPR tersebut tidak ada dalam UUD 1945. 

Demikian diungkapkan Jimly Asshidiqie, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada saat Obrolan Merdeka berkaitan dengan masalah SI MPR dan Dekrit Presiden di Jakarta pada Sabtu (2/6).

Jimly menegaskan bahwa sebenarnya masalah prosedur sidang istimewa sudah diatur dalam UUD 1945 bagian penjelasan. Selanjutnya,  diatur lebih lanjut dalam Ketetapan MPR (Tap) No. III Tahun 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.

Sehingga sebenarnya, menurut Jimly, prosedural yang sudah ditempuh dari mulai memorandum I, II, dan kemudian sampai akhirnya SI sudah sesuai dengan konstitusi. "Jadi tidak ada alasan saat ini bahwa SI yang akan digelar tidak konstitusional," tegas Jimly.

Sementara mengenai agenda SI MPR yang akan meminta pertanggungjawaban Presiden Wahid, Jimly melihat kalau ternyata pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR, maka secara otomatis berdasarkan pasal 8 UUD 1945 Presiden Wahid digantikan oleh wakil presiden sampai berakhir waktunya.

Jimly menambahkan bahwa berdasarkan Tap MPR No. VII Tahun 1973, SI  MPR dapat digelar karena beberapa kemungkinan. Pertama,  presiden atau wakil presiden mengundurkan diri.  Kedua, presiden atau wakil presiden atas permintaan sendiri berhenti. "Kemungkinan kedua inilah yang pernah ketika Presiden Soeharto atas permintaan sendiri mengundurkan diri dan kemudian digantikan BJ Habibie," ujar Jimly.

Tidak ada aturan main

Berbeda dengan Jimly Asshidiqie, pakar hukum tata negara Harun Al Rasyid pada kesempatan yang sama mengemukakan bahwa aturan meng-impeach presiden tidak ada di dalam UUD 1945. Alasannya,  penggantian presiden berdasarkan Pasal 8 UUD 1945 hanya terjadi jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya.

Tags: