Polemik SI Karena Ada Beda Penafsiran
Berita

Polemik SI Karena Ada Beda Penafsiran

Dua pakar hukum tata negara berpolemik soal Sidang Istimewa (SI). Bagi Harun Al Rasyid, SI MPR inkonstitusional. Namun, Jimly Asshidiqie melihat pendapat Harun itu sesat. Alasan Jimly, proses impeachment jelas diatur dalam penjelasan UUD 1945 dan dalam Tap MPR.

Tri/APr
Bacaan 2 Menit

Serahkan ke MA

Untuk menyelesaikan polemik konstitusional atau tidak SI MPR, Harun mengatakan kita tunggu saja fatwa Mahkamah Agung (MA) seperti yang terjadi di Amerika Serikat ketika terjadi pemilihan presiden pada 7 November 2000. "Yang akhirnya dimenangkan George W Bush, dengan keputusan lima melawan empat hakim agung," kata Harun.

Namun, Jimly mengatakan bahwa MA sebenarnya sudah menjawab permintaan fatwa Presiden Wahid atas konstitusional atau tidaknya permintaan SI MPR. Secara prosedural, MA melihat permintaan SI MPR oleh DPR melalui memorandum sudah sesuai dengan prosedural. Sementara mengenai substansinya, MA tidak memberikan fatwanya karena memang bukan kewenangannya.

"Karena permintaan fatwa Presiden Wahid ini bersifat rahasia, maka MA tidak mengumumkannya kepada publik berkaitan dengan hasil fatwanya," ujar Jimly yang sudah mendengar penetapan fatwa MA tersebut.

Yang penting isinya

Sementara itu berkaitan dengan akan dikeluarkanya dekrit presiden, Harun berpendapat bahwa dekrit, maklumat, ataupun penetapan presiden sebenarnya secara substansial sama. "Itukan hanya wadahnya saja, yang pentingkan isinya," ungkapnya.

Harun berpendapat bahwa presiden berwenang mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR. Dan itu pernah terjadi ketika Presiden Soekarno pada 5 Maret 1960 mengeluarkan penetapan membubarkan DPR yang kemudian digugat oleh Bung Tomo. "Namun sayangnya, MA menolak gugatan tersebut dengan alasan masalah politik dan bukan masalah hukum," kata Harun

Namun, Jimly menegaskan kembali bahwa pendapat Harun tersebut sesat. Alasannya, UUD 1945 tidak dapat membenarkan DPR dibubarkan oleh Presiden. "Saya dapat memahami pendapat Harun, tapi itu ditempatkan dalam wacana akademis dan kalau ini diekspresikan dalam kehidupan bernegara akan sangat menyesatkan. Apalagi kalau sampai dipakai oleh Presiden Wahid, ini bisa dijadikan pembenaran hukum untuk logika kekuasaan dan ini sangat berbahaya".

Lebih lanjut, Jimly yakin bahwa perdebatan konstitusional dan inskonstitusional SI MPR merupakan wacana politik Presiden Wahid karena kalau terjadi hegemoni pemikiran, maka berbahaya bagi demokrasi. Dan apa yang dilakukan Presiden Wahid dapat dilihat sebagai usaha untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan kita. Boleh-boleh saja perdebatan tersebut sebagai wacana, tapi rakyat jangan terus-terus dibingungkan.

 

Tags: