Polri Sebut Novel Baswedan Pelintir Pasal
Berita

Polri Sebut Novel Baswedan Pelintir Pasal

Tim kuasa hukum Novel menilai Polri selaku Termohon telah offside karena mengungkap pokok perkara.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Sidang praperadilan Novel Baswedan vs Polri. Foto: RES
Sidang praperadilan Novel Baswedan vs Polri. Foto: RES
Menjawab permohonan praperadilan Novel Baswedan, tim kuasa hukum Polri selaku Termohon menyebut penyidik KPK itu telah memelintir Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, Polri juga membantah adanya intervensi Bareskrim dalam penangkapan Novel.

Untuk diketahui, Pasal 19 ayat (1) KUHAP mengatur tentang jangka waktu penangkapan. Lengkapnya, pasal itu berbunyi, “Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.” Dalam permohonan, Novel berdalil surat perintah penangkapan yang dikeluarkan penyidik Bareskrim Polri telah kadaluwarsa.

Kepala Divisi Hukum Mabes Polri Brigjen Pol Ricky H.P. Sitohang menjelaskan merujuk pada Pasal 1 angka 20 KUHAP, maka waktu satu hari yang disebut dalam Pasal 19 ayat (1) adalah periode lamanya seseorang dikekang kebebasannya guna proses penyidikan di dalam masa penangkapan. Dia tegaskan, Pasal 19 ayat (1) bukan mengatur mengenai lamanya masa atau periode berlakunya suatu surat perintah penangkapan.

"Selain itu, dalam peraturan perundang-undangan lain juga tidak ada pengaturan mengenai jangka waktu atau masa berlaku dari surat perintah penangkapan," ujar Ricky saat membacakan jawaban atas permohonan praperadilan Novel di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (1/6).

Terkait dengan surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri tertanggal 24 April 2015 yang dinilai sudah kadaluwarsa untuk digunakan sebagai dasar penangkapan Novel pada 1 Mei 2015, Ricky menjelaskan bahwa surat perintah itu berlaku sejak surat itu diterbitkan pada 24 April 2014 hingga proses penangkapan selesai dilaksanakan. Jadi, lanjut dia, surat perintah tersebut bukan hanya berlaku satu hari saja atau sampai 25 April 2015.

"Bahwa ketentuan masa penangkapan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 1 KUHAP yang sebenarnya mengatur periode berlakunya surat perintah penangkapan tentunya sudah sangat dipahami oleh pemohon selaku penyidik KPK yang sebelumnya juga pernah menjadi penyidik Polri, oleh karena itu sangat disayangkan jika dalam perkara ini pemohon telah berusaha memelintir atau membelokkan arti dan makna dari pengaturan dalam pasal tersebut," kata Ricky.

Lebih lanjut, Polri membantah adanya intervensi dari Kabareskrim dalam penangkapan dan penahanan yang dilakukan penyidik Bareskrim Polri terhadap Novel. Menurut Ricky, tindakan yang dilakukan oleh Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Budi Waseso tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 20 Peraturan Presiden Nomor 52 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian RI.

"Bahwa penerbitan surat perintah oleh Kabareskrim pada 20 April 2015 bukanlah suatu bentuk intervensi, melainkan untuk menjalankan tugas dan fungsinya di bidang penyelidikan dan penyidikan, termasuk di antaranya fungsi pengawasan atas proses penyelidikan dan penyidikan agar proses tersebut dapat berjalan baik," tuturnya.

Ditegaskan Ricky, Surat Perintah Kabareskrim itu hanya bersifat administratif bukan pro justicia, untuk menugaskan para penyidik yang ada di Bareskrim maupun di luar Bareskrim, dalam hal ini Polda Metro Jaya.

"Sedangkan untuk proses pro justicia, dikeluarkan surat perintah oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri selaku penyidik," ujarnya.

Dengan demikian, kata Ricky, penangkapan berdasarkan Surat Perintah Penangkapan tertanggal 24 April 2015 dan penahanan berdasarkan Surat Perintah Penahanan tertanggal 1 Mei 2015 yang dialamatkan pada Novel Baswedan merupakan tindakan yang sah dan berdasar hukum.

Termohon Offside
Salah seorang kuasa hukum Novel Baswedan, Julius Ibrani menilai tindakan kuasa hukum Polri telah melenceng jauh (offside), karena mengungkapkan materi pokok perkara dalam sidang lanjutan praperadilan. Menurut Julius, materi pokok perkara bukan objek praperadilan.

"Menurut kami termohon sudah 'offside' dengan kembali mengungkap pokok perkara yang terjadi di Bengkulu yakni tentang (penembakan) yang dilakukan Novel yang mana itu tidak termasuk dalam objek praperadilan," ujarnya usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Menurut dia, uraian peristiwa dugaan tindak pidana Novel yang disampaikan dalam sidang praperadilan oleh kuasa hukum Polri, telah melenceng jauh dari dalil-dalil permohonan praperadilan yang diajukan yaitu tentang tidak sahnya penangkapan dan penahanan.

Selain itu, kata Julius, kuasa hukum Polri juga mengungkapkan hal-hal yang sifatnya asumsi berkaitan dengan sifat Novel yang brutal dan buruk.

"Ini asumsi yang sifatnya personal dan di luar wilayah permohonan praperadilan kami. Ini kami catat dengan sangat hati-hati untuk menilai apa sebenarnya kepentingan dari jawaban Termohon yang mengarah pada personalitas dari Pemohon yang kami dampingi," tuturnya.

Berbeda dari dua sidang sebelumnya, di sidang kali ini Novel Baswedan tidak hadir dan hanya diwakili oleh tim kuasa hukumnya.

"Hari ini Novel tidak dapat hadir karena ada tugas dari KPK, jadi cukup diwakili kuasa hukum saja," kata Julius.
Tags:

Berita Terkait