‘Potret’ Ketua MA dari Masa ke Masa
73 Tahun MA:

‘Potret’ Ketua MA dari Masa ke Masa

Mengurai sekelumit kiprah ketua MA mulai awal kemerdekaan (orde lama), zaman orde baru, masa reformasi, hingga saat ini.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-73, yang lahir pada 19 Agustus 1945, atau dua hari setelah hari kemerdekaan Republik Indonesia. Di hari HUT MA ke-73 ini, Minggu (19/8), MA menggelar berbagai kegiatan mulai upacara bendera, gerak jalan, hingga menggalang dana untuk membantu korban gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang terjadi beberapa waktu lalu.

 

Pada perayaan HUT ke-73 ini, kali ini MA mengusung tema “Era Baru Peradilan Modern Berbasis Teknologi Informasi”. Tema ini setidaknya merefleksikan suasana kebatinan dunia peradilan Indonesia yang baru saja memulai era baru dengan mengembangkan sistem peradilan berbasis elektronik (e-court) sebagai implementasi Peraturan MA (Perma) No. 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik di Pengadilan.

 

Sejarah berdirinya MA pada 19 Agustus 1945, tidak bisa lepas dari sejarah bangsa ini, khususnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Meski sebelumnya cikal bakal kelembagaan MA sebenarnya sudah berdiri sejak penjajahan Belanda yang disebut hoogerechtshaf (pengadilan tertinggi). Yang terakhir Ketua Hoogerechtshaf-nya dijabat Mr. G. Wijers beranggotakan dua orang Indonesia dan dua orang Belanda serta satu orang jaksa agung (procureur general) yang berkantor di Lapangan Banteng Timur.              

 

Tentunya, sejarah panjang dan perkembangan atau dinamika peradilan tertinggi ini ditentukan dari “sentuhan” pimpinan MA di masanya, mulai awal kemerdekaan (orde lama), zaman orde baru, reformasi, hingga saat ini. Kiprah MA sebagai lembaga yudikatif telah melewati fase mulai berkembang. Ada masa, dimana MA, menurut sebagian orang, berada di masa keemasan. Tapi ada juga yang menilai masa-masa MA dalam kondisi terpuruk. Singkatnya, dinamika MA sangat ditentukan kondisi pada saat kepemimpinan seorang ketua MA.

 

Mengutip buku Berdirinya Mahkamah Agung Republik Indonesia, pasca Indonesia merdeka, kedudukan MA kokoh setelah berlakunya Pasal 24 UUD 1945 sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi. Lalu, melalui Penetapan Pemerintah No. 9 Tahun 1946 ditetapkan tempat kedudukan MA berada di Ibukota Jakarta Raya, tepatnya di Jalan Lapangan Banteng Timur No. 1 Jakarta Pusat, yang saat ini menjadi Gedung Kementerian Keuangan.

 

Saat Pemerintah Belanda berniat kembali menjajah Indonesia, tempat kedudukan MA dialihkan ke Yogyakarta – yang kala itu ditetapkan sebagai ibukota negara Indonesia - pada Juli 1946. Ketua MA pertama dijabat Mr. Dr. Kusumah Atmadja dan Mr. R. Satochid Kartanegara sebagai wakilnya dengan tiga orang hakim agung anggota yakni Mr. Husen Tirtaamidjaja, Mr. Wirjono Prodjodikoro, Sutan Kali Malikul Adil dibantu Mr. Soebekti sebagai panitera MA.

 

Selama masa “pengungsian” di Yogyakarta itu, kedudukan MA dialihkan kembali ke Jakarta setelah selesainya Konferensi Meja Bundar dan pemulihan kedaulatan negara RI, kecuali Irian Barat, pada 1 Januari 1950. Otomatis, semua pekerjaan, personil, gedung Hoogerechtshaf pun diserahkan kepada MA Republik Indonesia Serikat (RIS) yang masih di bawah kepemimpinan Mr Kusumah Atmadja bersama Jaksa Agung Mr Tirtawinata. Kala itu, keberadaan MA menyatu dengan Kejaksaan Agung dengan terbitnya UU No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan Organisasi dan Kekuasaan MA dan Kejaksaan Agung. Kedua lembaga itu akhirnya berpisah setelah terbinya UU No. 15 Tahun 1961.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait